Mohon tunggu...
arif saja
arif saja Mohon Tunggu... -

suka tantangan, suka adventure, musik, painting, dan semua yang berhubungan dengan seni tapi bukan seniman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Satu Tahun Bencana Jepang, Sebuah Pengalaman dan Pelajaran

11 Maret 2012   15:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini sekitar jam 15.35 waktu sendai, pada saat sedang mengerjakan sesuatu, tiba2 dipanggil oleh professor ke ruangan. Sayapun mengikuti beliau dan ternyata pada saat itu sedang persiapan mengheningkan cipta untuk mengenang 1 tahun gempa dan tsunami hebat yang melanda Jepang. Saya-pun mengikuti acara mengheningkan cipta sambil mengikuti instruksi dari TV. Suasana menjadi hening dan sepi, apalagi kami hanya bertiga di laboratorium. (karena memang hari minggu). Mendadak bayangan kejadian 1 tahun lalu dengan cepat  terbuka kembali. Di tempat yang sama, di lantai 10, saat saya merasakan betapa dahsyatnya guncangan itu.

Setelah mengheningkan cipta, terlihat professor menitikkan air mata. Kami pun terdiam sejenak sambil terus menatap televisi yang menyiarkan peristiwa tersebut.

Satu tahun lalu, banyak kejadian yang luar biasa dari bencana alam dahsyat tersebut terutama melihat bagaimana mental orang jepang menyikapi bencana. Dan buat saya, mental  itu sungguh  luar biasa yang mungkin akan sangat sulit ditemukan di negeri kita. Berikutnya saya akan mencoba menulis beberapa kejadian yang saya alami. Sekali lagi, Ini adalah pendapat pribadi saya berdasarkan apa yang saya lihat dan saya alami.

Sesaat Setelah gempa besar berlangsung, karena saya berada di lantai 10, kami (saya dan  orang2 di lab), setelah bisa berdiri, satu persatu mulai bangun dan turun. Tidak ada teriakan histeris, kepanikan atau berebut untuk turun. Bahkan saling mendahulukan satu sama lain. dan dengan pelan, kami-pun satu persatu turun melalui tangga yang saat itu gelap gulita karena lampu mati semua. Secara teratur pula, semua berkumpul di lapangan di depan gedung dan mulai menghitung dan mencari orang2 yang mungkin masih tertinggal di atas gedung. Pada saat itu, gempa susulan terus berlangsung.

Beberapa menit kemudian, jalan raya di depan gedung mulai padat dan bahkan macet (sesuatu yang saya tidak pernah lihat sebelumnya). Di sini saya melihat kejadian luarbiasa berikutnya. Di saat mobil2 di jalan mulai macet,merayap dan tidak melihat ujungnya, tidak satupun suara klakson mobil terdengar. Yang ada hanya bunyi sirine Ambulance, sirine patroli polisi dan suara speaker dari helicopter yang berputar2 memberi pengumuman/peringatan. Bahkan ketika ada mobil dari gang/ pertigaan yang akan keluar ke jalan raya,tidak segan2 mobil akan berhenti dan mempersilakan mobil tersebut untuk mengambil jalan. Mobil2 terlihat teratur di jalur masing2 dan tidak ada yang berusaha saling mendahului/ mengambil jalan mobil lain, apalagi mengambil jalur lawan meskipun pemnatas itu hanya garis putih dan  tidak ada separator/pembatas jalan dari semen seperti di Indonesia. Semua patuh dengan instruksi polisi yang mengatur mereka. saya pun tertegun melihat kejadian itu.

Setelah semua di data, satu persatu meninggalkan lapangan dan pulang ke rumah masing2. Saya-pun berniat  pulang karena harus mengambil jaket di dormitory (saat itu salju turun dengan lebat dan angin betiup sangat kencang, sedangkan saya hanya memakai kaos). Sampai di dormitory, ternyata tidak boleh masuk, dan semua penghuni diarahkan ke SMP Sanjyou-machi di dekat dormitory. Di sini saya melihat kejadian luar biasa ketiga. Gedung sekolah di jepang memang dibuat kuat dan dipersiapkan sebagai “evacuation centre” . sampai di gedung tersebut, saya melihat anak2 SMP dikumpulkan gurunya, dipisahkan perempuan dan laki2. Dengan instruksi gurunya, mereka mempersiapkan futon (alas tidur), tikar dan mengtur kursi2 yang dipersiapkan untuk pengungsi. Tidak ada muka ketakutan di wajah mereka. semua bergerak cepat dan sigap. Sebagian membantu menurunkan kakek/ nenek dari mobil untuk di bawa masuk ke dalam aula pengungsian. Selanjutnya mereka membantu memasak makanan untuk dibagikan ke pengungsi sambil menunggu orang tua mereka datang. Di sisi lain, para pengungsi-pun (rata2 orang tua) datang satu persatu dengan tenang, tanpa suara gaduh, tidak berebut tempat untuk berbaring dan ikut instruksi. Selanjutnya mereka hanya diam dan diam atau bicara dengan suara lirih.

Di luar aula pengungsian keadaan mulai gelap.  toko2 banyak yang tertutup. Hanya combini store (mini market) yang masih buka, itupun hanya satu pintu. Dan kejadian berikutnya adalah, mereka masuk combini dengan antri memanjang seperti ular, skali lagi tidak ada rebutan, tidak ada saling mendahului ditengah salju lebat dan suhu mencapai -2 derajat Celsius. Mereka pun membeli makanan secukupnya. Tidak ada yang berniat memborong makanan apalagi menimbun. Sama sekali tidak terlihat. Mereka keluar dari mini market dengan makanan dan kebutuhan seperlunya. Di sisi lain, pemilik toko tidak ada yang secara mendadak menaikkan harga atau menimbun bahan makanan, berpura2 stock habis untuk ditimbun. Dengan tenang mereka melayani pembeli. Antrian mengularpun terlihat di semua mini market yang saya lewati.

Hari kedua pasca bencana, tiba2 seorang kaken saya terjatuh. Refleks pun muncul, dan berusaha untuk menolong . namun dengan melambaikan tangan tanda menolak, kakek tersebut berkata lirih “daijubu desu” (maksudnya bilang tidak apa2) sambil berusaha bangkit namun terjatuh lagi. Disamping saya kebetulan ada yang bisa bahasa inggris dan bahasa jepang. saya hendak meminta kakek tersebut  baring beberapa saat, tapi tetap tidak mau dengan alasan itu bukan tempatnya, (tempat orang lain). dia tidak mau mengotori tempat orang lain yg kebetulan orangnya sedang tidak ada. Saya akhirnya memperkenalkan diri kalau saya dokter(dengan penterjemah tentunya), dan berusaha menjelaskan kondisinya yg lemah krn belum makan (kakek ini ternyata belum makan dari kemaren). Setelah minum jus (kebetulan ada yg masih punya minuman manis) kakek itu minta diantar ke tempat istirahatnya.

Subhanallah..subhanallah..hanya itu kata yang terucap melihat mental mereka… Begitu dewasanya mereka bersikap. Pelajaran bencana sudah menjadi  bagian dari pola hidup mereka dan itu mereka buktikan ketika kejadian bencana benar2 terjadi. Dari anak2 sampai kakek2 dan nenek2 yang rata2 usianya di atas 70 tahun sanggup memainkan peran masing2 dengan sangat luar biasa. Bahkan dalam kondisi lemah, seperti kakek tersebut, maasih berpikir untuk tidak merepotkan orang lain, tidak maumenggunakan barang yang bukan haknya, dan berusaha tetap bangkit meskipun kondisinya lemah.

Kita perlu belajar banyak dari mental orang jepang. negeri kita Indonesia termasuk kenyang dengan pengalaman bencana. Mulai gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan sederet bencana sudah menjadi hiasan media masa. Setiap bencana belangsung, ceritanya selalu sama, mempolitisasi, mengkorupsi barang bantuan, menimbun barang, menaikkan harga barang semaunya, tidak ada empati. Bahkan menurut saya pribadi, salah satu wujud kebiadaban mental kita adalah ketika bencana gempa dan tsunami aceh terjadi, beberapa hari berikutnya masih tetap orang2 berfoya2, hura2 membuang uang bermilyar2  untuk perayaan tahun baru tanpa bisa dihentikan. Sungguh negeri kita harus belajar banyak dari orng2 jepang….

Wassalam

Arif

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun