Sekali waktu, seorang teman mengajak makan siang di sebuah warung makan dekat kampus. Warung makan ini, katanya, menjadi langganan banyak mahasiswa-mahasiswi, juga para pekerja.Â
Tiba di sana, fakta aktual membenarkan informasi yang aku terima sebelumnya terkait warung makan itu. Menu makanan yang disajikan secara swalayan membuat beberapa orang tampak berbaris mengantri. Secara layanan tempat warung makan cukup nyaman dan higenis. Selain harga terjangkau, menu makanan yang disajikan rupa-rupa khas rumahan. Tidak mengherankan jika banyak yang berkunjung di warung makan itu.Â
Cerita tersebut di atas sedikit pembuka tulisan perihal marketing. Pada mulanya aku tidak pernah makan siang di warung makan itu. Namun karena ajakan teman, aku jadi mengerti varian menu, kualitas rasa, dan layanannya. Sepulang dari warung makan, ada kesan yang nyangkut di memoriku. Enak, nyaman dan ramah di dompet. Tentu saja, di lain kesempatan aku balik lagi makan ke sana, dan mengajak beberapa teman.Â
Apa yang pernah aku alami tadi, memang terkesan biasa saja. Walau begitu, disadari atau tidak, sebetulnya menyimpan pesan marketing cukup mendasar.Â
Seperti kualitas rasa sebuah produk, tentu saja tidak bisa membohongi watak lidah. Lidah adalah juri paling jujur. Selanjutnya lidah yang jujur tersebut akan mengajak banyak orang untuk merasakan hal yang serupa atau sebaliknya. Lalu apakah menjual sebuah produk makanan cukup mengandalkan sisi rasa saja?Â
Idealnya tidak hanya penampilan produk dan kualitas rasa. Sebab ada hal lain orang enggan membeli sebuah produk, walau sisi kualitasnya tidak lagi diragukan.Â
Kenapa bisa begitu? Karena yang dinilai tidak hanya produk saja melainkan pelayanan, kenyamanan, atau karakter yang membawakan produk ke konsumen. Aspek ini secara praktis tidak banyak yang menyadari, alih-alih berkomitmen, mencipatakan kenyaman dan menjaga kepercayaan konsumen kerap luput dari prioritas.Â
Seperti keluhan emak-emak yang tak sengaja aku dengar saat berjalan bersimpangan dengannya di sebuah gang jalan. "Belanja di warung sana, penjualnya kurang ramah, bobot timbangannya banyak kurangnya".Â
Sudah begitu ia membandingkan layanan warung di sebelah yang ramah, sumeh, kadang-kadang dapat bonusan. Dua karakter penjual yang berlawanan tersebut mungkin saja pernah dijumpai oleh emak-emak di tempat yang berbeda. Atau bisa jadi kita sendiri pernah merasakan serupa namun dengan narasi dan konteks yang berbeda.Â
Di kesempatan lain ada juga orang mau membeli suatu produk bukan alasan utama produknya seperti apa. Tetapi ia melihat penampilan orangnya misalnya cantik, seksi, ganteng dan lainnya. Teknik marketing seperti ini biasanya di terapkan oleh perusahaan rokok, mobile, motor hingga sekelas warung kopi.Â
Begitulah serba-serbi dunia jualan yang aktivitas dasarnya adalah mempersuasi orang untuk membeli suatu produk. Tentu saja praktisnya bisa meluas ke banyak bidang usaha.Â
Pertanyaan yang menarik diajukan adalah apakah spirit marketing bisa diterapkan pada aspek lain misalnya berdakwah, mendidik, atau yang lainnya?Â
Tidak ragu aku katakan sangat bisa! Mestinya melakukan aktivitas utamanya yang melibatkan khalayak berkiblat pada pemahaman dasar-dasar ilmu marketing. Mempromosikan dalam hal apapun termasuk nilai moral, etika, agama, inti aktivitasnya tidak jauh berbeda dengan strategi marketing yaitu mempersuasi publik agar mau menerima dan menjalankan kehidupan yang selaras dengan pesan moral, etika, agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H