Mohon tunggu...
Arif Budiman
Arif Budiman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Manifestasi pikiran yang selalu gelisah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

why do we need laws?

24 Desember 2024   04:02 Diperbarui: 24 Desember 2024   04:07 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat-saat ini masyarakat Indonesia mengalami situasi yang menyulitkan bagi demokrasi dan kemanusiaan. Politisasi hukum, kesewenang-wenangan penguasa, hingga praktek non-demokratis yang secara terang-terangan di praktikan oleh para pejabat. Pada dasarnya jika bertolak belakang pada UUD 1945 pasal 1 ayat 1 maka situasi ini tidak semestinya terjadi, karena pada pasal tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa supremasi hukum menjadi inti untuk membangun negara yang demokratis. Mengangkangi hukum sama artinya meludahi mimpi reformasi. mengutak-atik hukum untuk kepentingan pribadi maupun kelompok sama artinya memperkosa demokrasi. Berlandaskan latar belakang tersebut penulis merasa perlu kiranya "kita" untuk kembali mengingat mengapa diperlukan hukum dalam kekuasaan?

Apa yang dimaknai sebagai kekuasaan?

Kekuasaan umumnya selalu di identikkan dengan politik, membahas kekuasaan artinya membahas politik. Namun, kekuasaan tidak melulu tentang politik,mengartikan politik sebagai kekuasaan adalah berbahaya sebab cenderung menuju kediktatoran,kekuasaan tidak sesederhana itu. Hanya saja kekuasaan lebih identik dengan politik dikarenakan konsep kekuasaan sangat urgen dalam ilmu politik khususnya. Kekuasaan hanya salah satu dari unsur politik yakni ilmu (science), seni (art) dan berbagai macam kegiatan. Barbara Goodwin misalnya mendefinisikan kekuasaan, merujuk pada Miriam Budiarjo (2007) Kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memaksa orang lain agar melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Dalam definisi ini pelaku bisa berupa perorangan maupun kelompok, maka dalam kekuasaan selalu ada yang mempengaruhi dan dipengaruhi. 

Kekuasaan yang lazimnya kita pahami ialah Trias Politica yang dikonseptualisasikan oleh Montesquieu dalam L'esprit des Lois (1748) Meski Undang-undang dasar di Indonesia secara eksplisit tidak mengatakan bahwa ajaran Trias Politica dianut, namun Uud 1945 Bab 3, Bab 7 dan bab 9 mengilhami jiwa demokrasi konstitusional. Dalam Trias Politica umumnya kita pahami bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan: Legislatif (Rulemaking function), Eksekutif (Rule application function) serta Yudikatif (Rule adjudication function). 

Maka jika Trias Politica adalah jalan yang dipilih bangsa ini, sudah semestinya kekuasaan harus dibatasi. Adagium In Maxima Potentia Minima Licentia (Dalam kekuasaan selalu ada hasrat untuk berbuat kejahatan) menjadi penting bagi kita tatkala membahas Trias Politica. Kekuasaan haruslah dipisah untuk mencegah salah satu cabang kekuasaan menjadi terlalu kuat dan sewenang-wenang yang bisa menjerumuskan negara ke dalam otoritarianisme. Maka dalam konteks demokrasi check and balance memastikan adanya pembatasan, pengawasan dan akuntabilitas terhadap tiap cabang kekuasaan. 

Runtuhnya Orde Baru membawa angin segar yang membawa banyak perubahan terhadap pelaksanaan check and balance, lembaga-lembaga seperti Kpk, Komnas Ham dll merupakan wujud dari semangat reformasi untuk mewujudkan demokrasi yang dicita-citakan. Namun, saat-saat ini lembaga yang dulu sempat membawa angin segar reformasi, justru memungkinkan untuk dijadikan alat politik untuk menghabisi lawan politik dengan sederet isu yang dimanipulasi. 

Mengapa diperlukan hukum dalam kekuasaan?

Dalam konteks ilmu Hukum kita memahami adagium "Ubi Societas Ibi Ius" hal ini merupakan konsekuensi manusia yang disebut Aristoteles sebagai "Zoon Politicon". Manusia sebagai mahkluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Pada konteks sebagai Zoon Politicon, maka manusia niscaya memiliki kepentingan, ia butuh uang untuk membeli makan, ia butuh tanah untuk menanam makanan. Dalam konteks inilah terkadang kepentingan manusia satu dengan yang lain saling berbenturan, begitupula ketika manusia mempunyai kekuasaan, pasti mempunyai kepentingan. Untuk mengatasi kepentingan yang saling berbenturan maka hukum mempunyai peran penting agar kepentingan satu tidak berbenturan dengan yang lain. Jika tidak ada hukum maka seperti yang dikatakan Hobbes "Homo Homini Lupus" Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain atau "Bellum Omnium Contra Omnes" perang semua melawan semua.

Penting kiranya untuk memahami bahwa hukum memiliki peran untuk "menjinakkan kekuasaan" dalam konteks negara demokrasi segala tindakan negara harus berlandaskan pada asas legalitas, harus berlandaskan pada aturan yang tegas dan jelas. Maka, pertama tiap aturan harus tertulis sebagai bentuk manifestasi sifat keresmian. Kedua, tiap aturan hukum harus jelas. Ketiga, tiap aturan hukum haruslah tepat. Maka Kekuasaan harus mengikuti hukum, bukan hukum yang mengikuti kekuasaan. Jika hukum yang mengikuti kekuasaan ia berpotensi untuk disalah gunakan, bahkan lebih bahayanya lagi jika hukum digunakan kekuasaan untuk melegitimasi tindakan jahat penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun