Mohon tunggu...
Ariv Permana
Ariv Permana Mohon Tunggu... Dosen - Guru

Peminat perancangan kota yang sekarang jadi guru di negeri orang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Jokowi Ini Dia... Strategi Banjir Egaliter

14 Januari 2014   11:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banjir di Jakarta tidak bisa diselesaikan secara tuntas dan dalam waktu singkat. Tidak ada satu pun ahli sumber daya air yang mampu membebaskan banjir Jakarta, tidak! Jadi yang mengkritik Pak Jokowi untuk masalah banjir, semacam ruhut situmpul, adalah konyol dan asal jeplak. Kita pun sudah mafhum karena ruhut ahlinya hanya menjilat junjungan dan menggonggong lawan dari junjungannya, dan herannya orang tidak berguna macam ini masih ada yang menaungi.

Saya punya saran untuk Pak Jokowi, untuk mengendalikan banjir di Jakarta secara egaliter. Egaliter? ya egaliter, artinya semua ikut berpartisipasi mengendalikan banjir sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya.

Sebelumnya perlu diketahui dahulu penyebab banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta disebabkan karena (1) sungai-sungai yang melalui Jakarta meluap (karena kapasitasnya terlampaui), (2) karena genangan setempat akibat hujan tidak bisa dengan cepat dialirkan (karena kapasitas drainase yang tidak memadai). Menanggulanginya tentu saja dengan menghilangkan penyebab-penyebabnya.

Penyebab 1: Luapan sungai-sungai di Jakarta

Luapan sungai-sungai di Jakarta tentu saja akibat dari terlampauinya kapasitas sungai yang ada. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan (1) debit air terlalu besar (2) kapasitas sungai tidak mencukupi.Untuk menyelesaikan banjir di Jakarta ini perlu menyelesaikan dua penyebab ini. Pertama karena debit air yang terlalu besar. Tukang insinyur sumber daya air tahu bahwa aliran (debit) di sungai dapat direpresentasikan s dengan rumus Q=CIA (Q=debit air, C=koefisien aliran permukaan, I=intensitas hujan, A=luas daerah aliran sungai). Jadi aliran air tergantung kepada tiga variable CIA ini. Dari tiga variable ini, hanya C yang bisa dimodifikasi oleh manusia, seangkan untuk intensitas hujan, hanya sedikit saja bisa dimodifikasi oleh manusia. Sejauh ini ilmu memodifikasi cuaca yang bisa dilakukan oleh manusia hanya ada 3: (a) cloud seeding - penyemaian awan untuk mempercepat proses awan menjadi air hujan (b) storm prevention - untuk "sedapat mungkin" mencegah terjadinya angin ribut (ini pun tidak sepenuhnya dijamin berhasil) dan (c) hurricane modification - untuk "sedapat mungkin" mencegah atau memprovokasi terjadinya angin ribut. Jadi modifikasi cuaca untuk mencegah banjir di Jakarta rasanya sesuatu hil yang mustahal hingga saat ini. Kecuali bisa menghentikan proses kimia terbentuknya butiran air. Sejauh ini belum bisa. Luas daerah aliran sungai juga sama sekali tidak bisa dimodifikasi oleh manusia (ditambah atau dikurangi).

Sekali lagi, hanya C (koefisien aliran permukaan) yang bisa dimodifikasi. C ini tergantung kepada jenis permukaan lahan, kalau lahannya beton, insya Allah 96 persen hujan akan menjadi aliran permukaan alias banjir, tetapi kalau permukaan lahannya kawasan hijau, hanya sebagian kecil saja sekitar 20-30 persen yang akan menjadi aliran banjir. Inilah yang sedang dilakukan oleh Pak Jokowi dengan memperbanyak ruang terbuka hijau untuk memperbesar kawasan lahan yang bisa memperkecil aliran permukaan.

Usaha yang lebih revolusioner yang boleh dicoba oleh Pak Jokowi adalah "vertical living" untuk seluruh kawasan kumuh di Jakarta. Tentu saja ongkos sosialnya kemungkinan besar. Pak Jokowi tidak akan populer, karena akan diserang habis-habisan oleh politisi busuk, pengamat bayaran, Komnas HAM, pendukung capres yang sudah deklarasi, dll. Kalau saja kawasan kumuh di Jakarta ada 30% dari luas Jakarta, maka secara teoretis 20-25% ex-kawasan kumuh ini bisa menjadi kawasan hijau, dan banjir akan berkurang 15-20%.Dengan kemampuan finansial Pemda DKI dan tingginya kepercayaan masyarakat Jakarta kepada Pak Jokowi, insya Allah 5 tahun bisa selesai. Kalau ini yang terjadi dan sukses, Pak Jokowi tidak perlu kampanye untuk jadi presiden, yang lain lewat.

Usaha semacam itu sudah ada melalui pembangunan rumah-rumah susun. Saya menyarankan kepada Pak Jokowi, untuk sekalian merubah tata ruang daerah kumuh yang sekarang Pak Jokowi sedang benahi melalui rumah deret. Jadikan sekalian rumah susun Pak, dengan walk-up apartment 4 tingkat, sehingga bisa menghemat lahan 75% secara teoretis. Lahan yang dihemat bisa dijadikan ruang terbuka hijau. Karena sungai-sungai di Jakarta sebagian besar DAS-nya berada di Bogor/Depok/Tangerang/Bekasi, maka tidak bisa dihindarkan "pembangunan" fisik yang berada di kawasan Bodetabek juga mempunyai andil besar dalam kejadian banjir di Jakarta. Pembangunan kawasan puncak, misalnya, memperbesar nilai C sungai Ciliwung, sehingga debit air Ciliwung menjadi lebih besar untuk intensitas hujan yang sama.

Solusinya: Pak Jokowi beli lahan 500 hektar di hulu Ciliwung, jadikan lahan itu semacam detention basin (di Thailand disebut dengan Monkey Cheek) untuk menampung banjir sementara. Di Depok, jelas Walikotanya tidak mendukung pengendalian banjir di Jakarta, maklum saja dari partai pendukung the loser. Pak Jokowi juga bisa membuat monkey-cheek kecil-kecil tapi banyak sehingga bisa menahan debit Ciliwung sebesar mungkin (PS: disebut monkey-cheek karena kalau monyet makan dan makan yang harus dia makan cukup banyak sedangkan kapasitas yang bisa langsung masuk ke perut sedikit, maka makanan tersebut dikunyah dan disimpan dulu di mulut untuk kemudian ketika santai dicerna lagi pelan-pelan dan ditelan masuk ke dalam perut, mungkin tepatnya monkey-mouth).

Kalau usaha untuk "memperkecil" debit sungai sudah mentok. (PS: "memperkecil" maksudnya dengan intensitas hujan yang sama, debit sungai bisa diperkecil). Usaha lain yang mungkin bagi Jakarta adalah memperbesar kapasitas sungai. Usaha inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh Pak Jokowi ("menormalisasi" sungai dan mengeruk waduk). "Menormalisasi" sungai adalah bahasa gampang para insinyur pengairan, sebetulnya seberapa "normal" sih yang dinginkan untuk membuat kapasitas sungai normal dengan cara "dinormalisasi"?, jawabannya tidak ada, silakan tanya pada para tukang insinyur pengairan, jawabannya pasti sumir, tidak jelas, dan orang awam pasti tidak mengerti.

Usaha "menormalisasi" sungai ini pun ada batasnya, misalnya keterbatasan lahan dan kemiringan lahan (teorinya kemiringan hidraulik atau hidraulic gradient). Jakarta tidak beruntung dengan keterbatasan dua faktor ini. Ini menyebabkan pengendalian banjir Jakarta semakin sulit. Adalah pernyataan tolol kalau banjir Jakarta bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan paripurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun