Mohon tunggu...
Ariv Permana
Ariv Permana Mohon Tunggu... Dosen - Guru

Peminat perancangan kota yang sekarang jadi guru di negeri orang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Indonesia yang Sedang Menuju Kehilangan Jiwa

13 Agustus 2014   16:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_352681" align="aligncenter" width="568" caption="Ilustrasi, Kurator (Kompas.com/Dodi Zodi)"][/caption]

Bahasa Indonesia sejatinya adalah Bahasa yang egaliter, karena orang Indonesia yang berasal dari pelbagai tingkat sosial yang ada dapat menggunakan bahasa yang sama. Berbeda dengan bahasa daerah misalnya Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda, kita harus menggunakan bahasa yang berbeda untuk berbicara dengan orang dengan tingkat sosial yang berbeda. Makanya ada bahasa halus ada bahasa kasar. Terus terang karena tingkatan dan undak-usuk bahasa ini, saya repot menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu saya. Akhirnya, berbicara dengan saudara handai taulan lebih banyak menggunakan bahasa campur aduk gado-gado i.e. Indonesia plus Sunda.

Ternyata banyak juga tetangga yang menghadapi persoalan yang sama, mereka orang Sunda tetapi lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari. Terus ada kepikiran lama-lama akan hilang juga Bahasa Sunda ini. Mungkin dalam waktu seratus tahun, jumlah penutur Bahasa Sunda dan mungkin juga Bahasa Jawa akan semakin menciut, karena kurang egaliternya bahasa ini. Jadi suatu saat, entah berapa ratus tahun lagi, kita orang Indonesia mungkin hanya berbicara satu bahasa, Bahasa Indonesia, dan mungkin juga anak cucu, grand grand grand grand children kita ‘darahnya’ tidak jelas. Anak saya saja, padanya mengalir tiga ‘darah’: Sunda, Jawa dan China.

Lalu apakah Bahasa Indonesia telah siap untuk menjadi bahasa yang satu untuk orang Indonesia? Jawabannya menurut saya adalah ‘siap’ dan ‘tidak siap’. Siap, karena sifat Bahasa Indonesia yang egaliter. Dengan Bahasa Indonesia, ke bawah, ke atas dan ke samping, kita menggunakan bahasa yang sama. Ke Presiden dan ke Pemulung kita berbicara bahasa yang sama. Coba kalau pakai Bahasa Sunda atau Bahasa Jawa, tentu bahasa yang disampaikan akan berbeda. Itulah kelebihan Bahasa Indonesia. Sementara ketidaksiapan bahasa Indonesia karena kosakatanya yang terbatas, terutama kosakata ilmiah. Contoh kecil saja, bisakah Bahasa Indonesia menerjemahkan ‘effective’ dan ‘efficient’, dengan satu kata misalnya?. Tidak bisa. Sejauh ini ‘effective’ diterjemahkan dengan berdayaguna (dua kata: daya dan guna), atau ‘efficient’ diterjemahkan dengan berhasilguna (juga dengan dua kata: hasil dan guna). Coba terjemahkan ‘photo-synthesis’ atau ‘galaxy’ dengan bahasa asli Indonesia. Susah kan? Kita juga susah menerjemahkan ‘famous’ dan ‘notorious’, sama susahnya dengan menerjemahkan ‘received’ dan ‘accepted’.

Permasalahan dalam Bahasa Indonesia kini bertambah lagi, akibat usaha pengaburan arti oleh para politikus, koruptor, pejabat dan sejenisnya, oleh karena eufimisme atau untuk mengurangi atau menyembunyikan atau memperhalus konotasi dan arti yang sesungguhnya (CATATAN: ‘konotasi’ pun bukan asli Bahasa Indonesia). Contohnya, dalam bahasa pejabat sekarang, kata ‘gagal’ tidak ada dalam kamus mereka. Pemerintah lebih suka mengatakan: “… pemerintah belum berhasil menyejahterakan rakyat” … daripada “… pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat”. Yang terakhir ini adalah bahasa LSM. Kata ‘terlibat’ konotasinya sudah negatif. Tidak ada kata ‘miskin’ dalam kamus pemerintah untuk menyatakan orang papa, yang ada hanya ‘prasejahtera’. Tidak ada kata ‘menaikan harga’ yang ada hanya kata ‘menyesuaikan harga’ dalam kamus pemerintah, padahal esensinya adalah kenaikan harga. Saya tidak tahu, kalau ‘menyesuaikan harga’ disesuaikan dengan apa? Dengan kehendak pemerintah? Tambah lagi, dalam kamus aparat keamanan ada kata ‘diamankan’ untuk mengganti kata ‘ditangkap’. Rasanya kalau ‘diamankan’ artinya diberi pengamanan agar merasa lebih aman, kenyataannya ya itu tadi, ditangkap. Ada lagi, ‘disukabumikan’ untuk mengganti kata dibunuh dan dihabisi.

Dalam kamus koruptor, ada lagi. Misalnya ‘sajen’ untuk menggantikan ‘suap’. ‘Apple Malang’ yang hijau untuk menggantikan kata ‘duit suap’ atau ‘Apple Washington’ untuk menyatakan kalau duit suap harus berbentuk dollar. Dalam kamus perpolitikan juga dikenal dengan kata ‘amanah’ untuk menggantikan kata ‘jabatan’. Diberi ‘amanah’ berarti diangkat dalam satu jabatan. Tidak ‘amanah’ artinya tidak menjunjung tinggi jabatan yang telah diberikan. Dan yang paling dahsyat sekarang ini adalah kata-kata ajaib: Terstruktur, Sistematis dan Masif, untuk memberikan efek yang dahsyat dan mencengangkan. Kata ‘terstruktur’ menggambarkan bahwa kejadian ini berlaku dari atas ke bawah dan ke samping secara terorganisir dan simultan. Kata ‘sistematis’ untuk menggambarkan bahwa kejadian ini berlaku dengan pola dan cara tertentu.Sedangkan ‘masif’ berarti bahwa kejadian ini berlangsung secara masal dan dilakukan oleh banyak orang. Kita bisa terperangah dengan TSM ini. Namun dalam kenyataannya, yang dimaksud dengan TSM ini tidak lebih dari dagelan yang lucu lebih lucu daripada OVJ atau Cak Lontong. Para pengusung TSM tidak bisa membuktikan dan meyakinkan arti sesunggunya dari terstruktur, sistematis dan masif. Tambahan lagi bahasa alay dan jablay yang ikut mengaburkan makna sesungguhnya Bahasa Indonesia.

Kelakuan para badut perusak Bahasa Indonesia ini sungguh tidak lucu. Kita sebagai Bangsa Indonesia dan pengguna Bahasa Indonesia merasakan sedikit demi sedikit Bahasa Indonesia kehilangan arti hakiki dan kehilangan jiwa. Mungkin dalam limaratus tahun mendatang, orang Indonesia tidak mengerti manuskrip yang ditulis dalam Bahasa Indonesia saat ini.

Mari kita lestarikan Bahasa Indonesia, jangan ada eufimisme, jangan ada sarkasme. Gunakan Bahasa Indonesia dengan arti sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun