RUU Pilkada akan segera disahkan september ini. Kebijakan ini terkesan dipaksakan, karena dua alasan. Pertama, masa pengabdian DPR periode sekarang tinggal menghitung hari. Kedua, terjadi polemik seputar mekanisme pemilihan Kepala Daerah, terutama semakin menguatnya keinginan agar pemilihan Bupati/Walikota dilakukan melalui DPRD.
Pihak yang setuju mekanisme Pemilihan Bupati/Walikota dilakukan oleh DPRD beralasan bahwa selama ini ongkos pemilihan secara langsung sangat mahal, baik bagi penyelenggara maupun calon. Sehingga kondisi ini menyebabkan pejabat terpilih rawan korupsi, karena dituntut untuk mengembalikan modal pada saat pencalonan.
Pilkada langsung juga dianggap mengakibatkan Bupati/Walikota susah diajak koordinasi.
Tidak Terbukti
Padahal, Pilkada melalui DPRD pada masa Orde Baru tidak terbukti dapat meminimalisasi korupsi dan memudahkan koordinasi, justru merugikan rakyat. Karena hak rakyat untuk memilih dan dipilih secara langsung dikebiri, padahal hak tersebut dilindungi konstitusi. Di sisi lain, rakyat dirugikan karena tidak dapat memilih pemimpin alternatif dari jalur independen yang tidak jarang memiliki kompetensi lebih dibanding dengan calon dari partai.
Sebaliknya, Pilkada melalui DPRD justru cenderung menyuburkan korupsi melalui praktik politik transaksional antara legislatif dan eksekutif. Di sisi lain, kondisi politik lokal yang cenderung elitis dan oligarkhis juga membuat DPRD sangat berkuasa dan semakin sulit dikontrol, sementara kepala daerah mau tidak mau harus tunduk dengan legislatif, karena dari merekalah jabatan diberikan. Bukankah logikanya seseorang cenderung mengabdi kepada siapa yang memberi pekerjaan?
Pemerintah dan DPR juga tidak boleh mengesampingkan bukti bahwa implementasi Pilkada secara langsung telah menumbuhkan hubungan positif antara rakyat dan pemimpinnya. Kepercayaan rakyat kepada pemerintahan di daerah juga telah mampu mengikis mahalnya biaya Pilkada yang harus ditanggung oleh setiap calon. Nurdin Abdulla di Bantaeng, Suyoto di Bojonegoro, Jokowi-Ahok di Jakarta, Tri Risma di Kota Surabaya, Ridwan Kamil di Kota Bandung, dan masih banyak kepala daerah berprestasi lain yang tidak pernah disorot media telah membuktikan bahwa menjadi terpilih dalam Pemilihan dan dicintai rakyatnya tidak harus mahal.
Kepercayaan dan kecintaan dibalas dengan kerja keras dan pengabdian pemimpin untuk warganya. Sebut saja Walikota Risma yang mampu menata Surabaya menjadi salah satu kota terbaik di dunia, bahkan menolak dan menentang anggota DPRD dalam rencana pembangunan tol dalam kota. Alasannya, karena yang dibutuhkan adalah akses jalan yang bagus, lebar dan gratis, sementara tol mewajibkan warga membayar agar bisa mengaksesnya.
Pun dengan Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah. Meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi menjadi 9%, mengatasi banjir, membangun daerah pariwisata dan infrasturktur bertaraf internasional, menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga 0%, dan menata birokrasi untuk melayani, bukan dilayani adalah sedikit dari segudang prestasi beliau menata Bantaeng. Di periode ke dua memimpin, beliau mendapatkan perolehan suara mutlak.
Maka jika penghapusan mekanisme Pilkada langsung yang merupakan mekanisme membangun dukungan dan kecintaan warga kepada pemimpinnya dihilangkan, bangunan demokrasi menjadi hancur. Karena itu merupakan satu-satunya kekuatan dan legitimasi para pemimpin untuk terus memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyatnya, meskipun dalam beberapa kasus harus berbeda pendapat dengan DPRD.
Pemilu Serentak
Di sisi lain, ada alternatif penghematan biaya baik dari segi calon peserta maupun pelaksanaan Pilkada, diantaranya melalui mekanisme pengaturan dan batasan dana kampanye, serta pelaksanaan Pilkada melalui Pemilu serentak yang merupakanpenggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari-H pemilihan (Lijphart: 1992, Linz and Valenzuela: 1994, Payne: 2002, Cheibub: 2007), dan kepala daerah merupakan bagian dari eksekutif.
Pemilu serentak terbukti secara cepat mampu memotong besarnya anggaran biaya operasional, karena honor petugas (KPPS, PPS, PPK) yang mencapai 65% dari total anggaran setiap pemilu dapat ditekan. Mekanisme Pemilu serentak dengan jeda waktu 2,5 tahun antara Pemilu Nasional (pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR dan DPD) dan Pemilu Lokal (DPRD, Kepala dan Wakil Kepala Daerah) juga akan mempermudah koordinasi. Karena pemilihan presiden atau kepala daerah yang berbarengan dengan pemilihan anggota DPR atau DPRD akan menciptakan coattail effect (mengikuti jejak), dimanaPresiden atau kepala daerah terpilih diikuti dengan keterpilihan partai politiknya di DPR atau DPRD, sehingga melahirkan konsolidasi yang kuat antara pusat dan daerah.
Selain menghemat biaya dan memudahkan koordinasi, pemilu serentak juga akan meningkatkan kedaulatan pemilih. Jeda waktu 2,5 tahun antara Pemilu Nasional dan Pemilu daerah memberikan waktu bagi pemilih untuk mengevaluasi kinerja pemerintah. Pemilih bisa memberikan “hukuman” dengan cara tidak memilih partai jika kinerjanya tidak bagus. Dengan jeda yang relatif singkat, partai dituntut bekerja dengan sungguh-sungguh agar dipilih kembali, ini sekaligus menjadi ‘kontrol politik” bagi partai untuk serius bekerja.
Lebih baik DPR dan Pemerintah membahas RUU Pilkada melengkapi keputusan MK, yakni menyertakan Pilkada langsung ke dalam mekanisme Pemilu serentak yang akan dilaksanakan tahun 2019. Toh semangat penghematan, serta konsolidasi pusat dan daerah yang selama ini dipermasalahkan terakomodasi melalui mekanisme Pemilu serentak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H