Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Kekuasaan Gereja: Konteks Gereja Barat

19 Juli 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 2182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengakhiri pembuangan Babel ini, muncullah seorang tokoh gereja wanita sebagai mediasi, yaitu: Katarina. Katarina meminta Paus Gregorius IX kembali ke Roma. Pada tahun 1377, Paus kembali ke Roma, namun wafat di tahun berikutnya. Berdasarkan konklaf maka terpilihlah Paus Urbanus VI, namun Perancis menentangnya dan menobatkan Paus tandingan yaitu Clement VII di Avignon. Skisma (perpecahan) besar terjadi di Gereja Barat, kejadian di masa lalu terulang kembali dengan munculnya Paus Tandingan saling kutuk-mengkutuki tidak terhindarkan. Para pembaharu dari kalangan intelektual Universitas Paris menyerukan perlunya pembaharuan untuk menyelesaikan permasalahan internasional tersebut.Seruan ini didengar, dan untuk menemukan jalan tengah maka diadakan Konsili Pisa, Italia, pada tahun 1409. Konsili akhirnya diadakan di Pisa untuk mencapai titik temu kedua pihak. Rekonsiliasi tetap saja gagal, dan justru mengakibatkan kekacauan baru dengan adanya tiga orang Paus yang berbeda kepentingan pada saat bersamaan. Jaman Paus Tandingan Jilid Kedua baru menjadi sengit ketika terjadi intervensi Jerman dengan Inggris yang memihak kekuasaan Paus di Roma pada tahun 1415.[43]

Sigmund, Raja Bohemia dan Kepala Kekaisaran Suci Roma akhirnya juga mengusahakan konsili baru untuk rekonsiliasi; tepatnya pada tahun 1414 hingga tahun 1418, Disini Sigmund berpikir moderat bahwa permasalahan Gereja bukan saja menyangkut hubungan kekuasaan internal Gereja namun juga menyangkut permasalahan kekuasaan dan stabilitas bangsa-bangsa di Eropa Barat. Skisma bagi Sigmund harus dihentikan demi persatuan Eropa Barat, dan segera menyelesaikan permasalahan Gereja. Untuk mencegah permainan suara berdasarkan jumlah utusan dari internal Gereja, maka aturan pemilihan dibuat menjadi berbeda dengan sebelumnya. Aturan tersebut adalah pemilihan berdasarkan jumlah anggota-anggota Bangsa misalnya: Jerman, Spanyol, Inggris, Italia, Perancis, dan lain-lain; plus majelis kardinal-kardinal mendapat satu suara. Dengan demikian pemungutan suara dapat dikerucutkan menjadi dua kubu, yaitu: para konsiliaris yang menyokong kepentingan bangsa-bangsa melawan para kurialis yang menyokong kepentingan paus. Pemilihan ini menghasilkan seorang paus yang disepakati yaitu Paus Martinus V.

Paus Martinus V menyadari bahwa Gereja kali ini berhadap-hadapan dengan golongan baru yang mulai tumbuh di Eropa Barat, yaitu golongan kebangsaan. Keputusannya menghasilkan pembaharuan gereja-gereja untuk tiap-tiap negeri sendiri, artinya pembaharuan berlaku lokal untuk setiap kondisi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Keputusan tersebut tetap tidak mengubah situasi menjadi kondusif bahkan di beberapa tempat otoritas kekuasaan Gereja tetap saja tidak terkontol dengan baik, bahkan munculnya para pelawan Gereja Kristen Katholik semakin menguat dengan adanya keputusan tersebut, misalnya: para pengikut Johannes Hus (1369-1415) di Bohemia. Paus Martinus V berusaha merevisi keputusan awalnya dengan mengusahakan konsili-konsili baru dari tahun 1431-1449, namun tetap saja gagal menyatukan visi-misi gereja-gereja.

Pada akhir periode ini golongan konsiliaris memang gagal total secara institusional, dan golongan kurialis yang menang. Tetapi di wilayah lainnya paham semacam ini sudah terlanjur masuk ke institusi Gereja. Institusi kepausan kini dibawah kendali negara bangsa, dimana kepentingan kuasa setiap bangsa diusahakan terpenuhi di wilayah kebijakan politik Gerejawi. Gereja sendiri pada periode ini bersikap lebih realistis. Kepausan di Italia hanya mengurusi wilayah internal dimana mereka menjaga kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan untuk diri sendiri dan untuk keluarga dan untuk anak-anaknya.[44] Kepausan secara non-formal pada titik ini mengubah sistem kekuasaanya dari Gereja-Negara menjadi Negara-Gereja yang bersifat lokal dan bercorak Dinasti Keluarga.

[1] Mahasiswa Biasa UKDW Fakultas Teologi.

[2] Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450, (London: Routledge, 1996), x-xiii.

[3] Lihat Carlton Clymer Rodee (ed). Pengantar Ilmu Politik. (Jakarta: Rajawali, 1988), 8.

[4] Makalah Andreas A. Yewangoe dengan judul: "Mewujudkan Tujuan Nasional [Perspektif Kristiani]" yang disampaikan pada seminar PDKB, "Gereja dan Politik" Rabu 20 Mei 2009 di The Sultan Hotel-Jakarta.

[5] Hans-Rudei Weber. Kuasa: Sebuah Studi Teologi Alkitabiah. Samuel Siahaan (penj. Bahasa Indonesia). (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), xi. Judul asli: Power. Focus for a Biblical Theology.

[6] George D. Salmon. The Infability of The Church, (London: Wyman & Sons, Ltd, 1953), 50-63.

[7] Michael Gaddis. There is No Crime for Those Who Have Christ: Religious Violence in The Christian Roman Empire. (London: University of California Press, 2005), 30.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun