Dari salah satu mobil dengan kap yang terbuka, sepasang anak muda mengibarkan bendera Turki sembari berciuman mesra. Tak sulit juga mencari "kehangatan" lain. Tak jauh dari kawasan turis Istana Topkap, di belakang Mesjid Biru yang indah itu, beberapa hotel memancarkan kemesuman yang tak ditutup-tutupi.
Turki adalah negara yang resminya berstatus sekuler. Wajar jika imaji kehidupan sekuler mudah terlihat. Tapi tak berarti suasana religius absen. Di beberapa titik sangat mudah terasa.Â
Saat waktu shalat tiba, persis seperti di Indonesia, suara azan segera menghampiri telinga di mana pun kami berada. Pada malam berikutnya, ketika kehidupan malam di seputaran Besiktas mulai berdenyut, suara azan 'Isya terdengar di sela-sela musik yang berdentam, sesuatu yang juga akan ditemukan jika nongkrong sampai subuh di berbagai tempat hiburan malam di Indonesia.
Pada salah satu senja, kami menyambangi uskudar, sebuah pantai yang letaknya di sisi Istanbul Asia. Sembari menikmati kesejukan udara Selat Bosphorus dan Laut Marmara, saya menyesap segelas kopi turki yg terkenal itu, yang dijual seorang bocah yang berjalan menenteng termos, hampir mirip dengan para penjual kopi di sekitar Monas.Â
Di sepanjang pantai uskudar ini, "kebeningan" wanita-wanita Turki juga sangat terasa. Sambil menunggu sang mentari terbenam, mereka duduk menikmati angin laut berdua-duan dengan pasangannya masing-masing.
 Berbicara tentang korelasi sejarah Republik Turki dan Republik Indonesia, tentu tidak sulit dicarikan titik temunya, walaupun polemik masing-masing Negara berangkat dari titik pijak yang berbeda, tapi polemik itu memperlihatkan dengan baik bagaimana Turki memberikan sentuhan khas kepada kebangkitan nasionalisme Indonesia. Turki bahkan sudah lama menjadi bahan perbincangan para aktivis pergerakan nusantara jauh sebelum polemik pada 1940an itu.Â
Bersama kebangkitan nasional Mesir, kemenangan Jepang atas Rusia, kemajuan pergerakan rakyat di Filipina, keberhasilan Kelompok Turki Muda membebaskan Bangsa Turki dari pendudukan Sekutu menjadi dian yang ikut menyalakan semangat para aktivis pergerakan Indonesia. Hampir semua diktat pelajaran sejarah di sekolah, dalam bagian tentang zaman pergerakan, selalu menyebut "Turki Muda" sebagai salah satu elemen penting yang ikut menyumbangkan peran dalam kebangkitan nasional Indonesia.
 Saat ini, selain irisan persamaan politik dengan Partai AKP, kesukaan pada islamisme ala Erdogan dan AKP agaknya dipicu oleh imaji tentang semangat menghidupkan lagi kejayaan Islam dengan cara-cara modern, yang mengesankan kesanggupan berhadapan dengan Barat secara berani. Ditatap dari jauh, sangat mungkin imaji tentang Erdogan dan AKP memang mewakili "semangat muda" ---artinya kehendak untuk maju--- Islam politik yang sedang berderap-berbaris, berbareng-bergerak.Â
 Ia bukan hanya terjepit di antara Timur dan Barat, sebagaimana semua Sultan Ottoman di masa silam. Berhadapan dengan Eropa yang menekankan standar tertentu jika Turki ingin diterima Uni Eropa, dikepung persoalan Timur Tengah yang pelik dan super ribet, Erdogan dan AKP mampu terus bertahan sejak berkuasa pada awal milenium ketiga.Â
Saat wajah Islam di beberapa negara Timur Tengah diselimuti kemuraman, ketika intrik politik di negara-negara Arab mengemuka dan kabar hedonisme para pangeran Arab tak dapat dicegah peredarannya, Erdogan menjadi pilihan paling masuk akal bagi mereka yang rindu menyaksikan Islam (politik) berkibar dengan terhormat. Ingatlah kata-kata Napoleon itu: "A leader is a dealer in hope". Pemimpin itu adalah yang mampu memberikan harapan untuk rakyatnya, bukan yang menyatakan bangsanya akan hancur suatu hari nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H