Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti di Setjen DPD RI

As there is only one God in the universe, there should be only one love in this world.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Utang Luar Negeri, Negara Sedang Krisis?

21 Desember 2018   00:02 Diperbarui: 21 Desember 2018   01:12 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan ekonomi suatu negara merupakan proses yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk memenuhi taraf hidup sosial yang sejahtera di negaranya. Tapi, tidak semua negara bisa dengan mudah mewujudkan hal tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai  pembangunan tersebut mengalami berbagai kendala.

Tidak semua negara yang sedang berkembang atau negara dunia ketiga merupakan negara miskin yang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang baik. Banyak negara dunia ketiga yang mempunyai sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Hanya saja sumber daya alam tersebut masih bersifat potensial, belum bisa dimanfaatkan secara optimal. 

Dikarenakan sumber daya manusia yang belum sepenuhnya siap untuk memaksimalkan sumber daya alam tersebut. Sumber daya manusia yang relatif besar belum dipersiapkan secara optimal, dalam artian masih menjalani proses pendidikan serta mengasah keterampilan untuk menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas serta berproduktivitas yang tinggi.

Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang menggunakan pinjaman luar negeri dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan utang luar negeri selama ini telah menjadi warisan kebijakan ekonomi Indonesia dari masa ke masa. Utang luar negeri dalam jangka pendek sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutupi kondisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar, sedangkan utang luar negeri dalam jangka panjang sangat merugikan Indonesia karena dapat menimbulkan beban utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga pinjaman bertambah besar dari tahun ke tahun. Kebijakan utang luar negeri untuk menutupi defisit APBN membuat Indonesia ketergantungan pada luar negeri sehingga tidak bisa mandiri.

Pada umumnya Utang Luar Negeri merupakan pinjaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah yang didapatkan dari pihak luar negeri. Baik itu melalui lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank) ataupun dari pihak negara lain. Utang luar negeri dapat diartikan berdasarkan berbagai aspek. 

Berdasarkan aspek materiel, pinjaman luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar negeri ke dalam negeri yang dapat digunakan sebagai penambahan modal di dalam negeri. Berdasarkan aspek formal, pinjaman luar negeri merupakan penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sedangkan berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Triboto, 2001:3)[1].

Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

Sejarah mencatat, salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda adalah Indonesia harus membayar semua utang-utang luar negeri Hindia Belanda sebagai salah satu syarat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda. Akibatnya, terhitung sejak tahun 1950 Indonesia memiliki utang warisan Hindia Belanda sebesar US$ 43 miliar, harga mahal dari sebuah pengakuan kedaulatan Indonesia. Saat itu, Presiden Soekarno menyadari betul bahwa Indonesia perlu sumber pembiayaan alternatif salah satunya utang luar negeri untuk membangun perekonomian Indonesia yang masih terpuruk akibat kolonialisme yang panjang. 

Meski Soekarno pernah menyatakan "go to hell with your aid" terhadap Amerika Serikat yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik, namun Soekarno bukan anti utang. Tercatat jumlah utang pada akhir Pemerintahan Soekarno sebesar Rp 3,8 milliar untuk memenuhi pembangunan perekonomian Indonesia dan mewujudkan hasrat politik luar negerinya. Namun Pemerintahan Soekarno-Hatta sangat wasapda dan menerapkan aturan ketat terhadap setiap perundingan peminjaman utang luar negeri. Hatta misalnya, menetapkan syarat-syarat: Negara pengutang tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia, bunga tidak boleh lebih dari 3 - 3,5% per tahun, dan jangka waktu pembayaran utang yang lama. 

Dan ketika pada rezim Soeharto, utang Indonesia semakin menumpuk dan akibat salah pengelolaan utang luar negeri menjadi penyebab utama Indonesia jatuh dalam krisis moneter 1997. Pasca reformasi hingga sekarang, utang Indonesia pun tidak berkurang, malah semakin meningkat. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada tahun ini sebesar US$ 323 miliar (Rp 4.199 triliun), utang pemerintah US$ 159,7 miliar dan utang swasta sebesar 163,3 miliar. 

Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia menarik utang baru sebesar 492,8 Trilyun, sedangkan tahun 2015 naik menjadiRp 607,2 trilyun. Di saat yang bersamaan, pembayaran bunga utang terus meningkat, pada tahun 2015 misalnya, beban bunga hutang Rp 156 Triliun, dan tahun 2016 pembayaran beban utang menjadi Rp 189 triliun (Kompas, 29 Oktober 2016). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun