SEMANGAT otonomi daerah yang digaungkan dalam agenda reformasi pada 1998 silam mendorong adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) melalui hak otonomi daerah. Pelimpahan kewenangan tersebut secara umum terdapat empat bidang, yakni desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi pasar atau ekonomi.
Dari keempat jenis desentralisasi tersebut, desentralisasi fiskal menjadi salah satu pilar utama dari proses penyelenggaraan otonomi daerah. Karena salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemandirian daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Namun hingga dua dekade berlalu, sebagian besar daerah (kabupaten dan kota) masih belum mandiri secara fiskal. Hal tersebut terjadi karena tingginya kebutuhan fiskal (fiscal need), sedangkan sisi lain kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah tidak seimbang, dan akhirnya menimbulkan celah fiskal (fiscal gap) yang cukup tinggi. Dengan kondisi tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menutup celah fiskal untuk mengurangi vertical fiscal imbalance dan horizontal fiscal imbalance melalui revenue sharing, fiscal sharing, dan grant.
Dikutip dari laman Kemdagri, komposisi pendapatan kabupaten/kota APBD TA 2019, pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkontribusi sebesar 15 persen, dana perimbangan sebesar 66 persen, dan lain-lain PAD yang sah berkontribusi sebesar 19 persen.
Salah satu cara untuk melihat keberhasilan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Daerah yang mandiri ditandai dengan semakin tingginya kontribusi PAD dan semakin berkurangnya ketergantungan terhadap dana transfer dari pusat. Untuk mengukur kemampuan keuangan daerah bisa dilakukan dengan menghitung rasio-rasio keuangan. Halim (2004), beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain rasio kemandirian (otonomi fiskal), rasio efektivitas dan efisiensi, dan debt service ratio.
Jika melihat data dari Kemendagri, komposisi pendapatan daerah  yang jumlah PAD hanya berkontribusi sebesar 15 persen, maka bisa dikatakan kemampuan keuangan daerah masuk dalam kategori rendah sekali dengan pola hubungan instruktif.
Kabupaten dan kota yang sejatinya menjadi ujung tombak penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi justru tidak memiliki ruang kreasi yang luas untuk mampu meningkatkan kapasitas fiskalnya. Terlalu tingginya dominasi pemerintah pusat dan pendekatan yang sentralistis dan seragam yang dilakukan oleh pemerintah pusat, secara tidak langsung mematikan inisiatif dan kreativitas daerah. Pada akhirnya kondisi tersebut membuat daerah tidak memiliki ruang diskresi untuk menentukan kebijakan daerahnya. Akibatnya banyak daerah yang hingga saat ini memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap pusat dan bukan justru mendorong kemandirian daerah seperti yang menjadi semangat otonomi daerah.
Upaya peningkatan fiskal daerah tidak hanya terfokus pada soal bagaimana upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Karena pada prinsipnya peningkatan kapasitas fiskal adalah bagaimana pemerintah daerah mampu mengoptimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Dengan demikian pemerintah daerah tidak perlu mengkotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Meski demikian perlu dipahami peningkatan kapasitas fiskal itu bukan berarti mengejar anggaran kuantitas anggaran yang besar, melainkan yang tidak kalah penting adalah bagaimana pemerintah daerah mampu melakukan pengelolaan fiskal secara cermat, tepat, dan hati-hati, serta memegang prinsip transparansi, akuntabel, dan value for money dalam pengelolaannya.
Terdapat sejumlah kendala bagi pemda dalam upaya meningkatkan PAD-nya. Masalah itu seperti ketidakmampuan pemda dalam mengidentifikasi potensi sumber pendapatannya. Kemudian pemda belum dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dan retribusi atau bahkan penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.Â
Pemda masih menganggap bahwa rendahnya penerimaan PAD sebagai akibat dari ruang gerak yang terbatas untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dan retribusi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemda melihat banyak jenis dan objek pajak dan retribusi yang masih dapat diterapkan tetapi tidak diperbolehkan oleh undang-undang.Â
Selanjutnya pemda melihat jika potensi pendapatan pajak yang besar seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu masih dikelola oleh pusat dan tidak diberikan ke daerah. Kendala lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta lemahnya pengawasan atas pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah.
91 Persen Daerah Belum Mandiri
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengungkapkan, sebanyak 446 daerah atau 91 persen kabupaten dan kota tak mandiri fiskal. Jumlah PAD-nya masih kurang dari 20 persen terhadap total pengeluaran APBD.
"Standar internasional menyebutkan bahwa daerah bisa disebut mandiri fiskal manakala pendapatan asli daerah (PAD) minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)," kata Robert Endi Jaweng, dikutip dari laman kppod.org, Jumat (18/6/2021).
Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian sebagian besar daerah belum mandiri dan masih sangat tergantung terhadap dana transfer dari pusat untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Dengan kondisi tersebut pemerintah daerah dituntut untuk mampu meningkatkan kemampuan fiskalnya dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap dana transfer dari pusat. Banyak cara bagi daerah untuk mendorong peningkatan PAD, seperti pada penyesuaian regulasi, melakukan identifikasi potensi penerimaan daerah terutama di sektor pajak dan retribusi, manajemen sumber daya manusia, sistem administrasi penerimaan daerah yang terintegrasi teknologi komunikasi, dan informasi.
Mardiasmo (2018), menyebutkan terdapat empat strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kapasitas fiskal untuk menutupi kesenjangan fiskal melalui manajemen daerah, yakni (1) mempelajari kemungkinan meningkatkan pendapatan melalui charging for service, (2) perlu dilakukan perbaikan administrasi penerimaan pendapatan daerah (revenue administration) untuk menjamin agar semua pendapatan dapat terkumpul dengan baik, (3) kemungkinan menaikkan pajak melalui peningkatan tarif dan perluasan subjek dan objek pajak, dan (4) mengoptimalkan penerimaan pajak pusat yang dapat dibagi dengan daerah. Jika potensinya cukup besar maka pemerintah daerah dapat membantu mobilisasi penerimaan pajak pusat, sehingga bagian bagi hasil pajak untuk daerah tersebut tinggi.
Sekali lagi masih ada celah bagi daerah untuk mampu meningkatkan PAD-nya. Kepala daerah selaku top leader diharapkan mampu menciptakan inovasi dan kreatif dalam mendorong upaya peningkatan fiskal daerah tanpa harus melulu mengharapkan dana transfer dari pusat.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H