Mohon tunggu...
Ari Supriadi
Ari Supriadi Mohon Tunggu... Jurnalis - interest terhadap politik, pemerintahan dan lingkungan

Warga biasa. Tukang ngopi, kerja cuma sampingan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beas Perelek, Solusi Jaring Pengaman Sosial di Tengah Pandemi Covid-19

1 Mei 2020   23:59 Diperbarui: 2 Mei 2020   01:05 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya beas perelek atau istilah lain di tiap daerah, rasanya masih sangat relevan diaplikasikan meski telah terjadi modernisasi dalam sistem sosial dan budaya masyarakat. 

Budaya beas perelek mengajarkan kita untuk berbagi, bergotong royong, belajar dari hal yang kecil, dan juga menjaga stabilitas pangan terutama saat bencana seperti sekarang ini. Budaya beas perelek juga bisa menjadi simbol kemandirian masyarakat dalam menjaga stabilitas pangan di lingkungannya. 

Seperti yang dilakukan masyarakat Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Setiap musim panen, masyarakatnya selalu menyimpan hasil panen di dalam leuit (lumbung padi). 

Padi yang disimpan dalam leuit itu nantinya menjadi tabungan pangan Suku Baduy dan bisa diambil saat dibutuhkan. Sistem manajemen pangan di Suku Baduy sangat visioner dan sudah sepatutnya ditiru oleh masyarakat luar yang (katanya) modern untuk menjaga stabilitas pangan.

Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, tempat kelahiran dan tempat tinggal saya merupakan daerah di Provinsi Banten, yang sangat rawan akan bencana alam, mulai dari banjir, longsor, kekeringan, angin puting beliung hingga tsunami dan gempa bumi. 

Dengan melihat fenomena yang ada sudah seharusnya masyarakat kembali menghidupkan atau tetap menjaga budaya beas perelek yang sejak zaman nenek moyang sudah dilakukan.

Untuk kembali menghidupkan budaya beas perelek dibutuhkan kesadaran bersama dan juga dukungan dari pemerintah. Masyarakat harus kembali diingatkan istilah "engke kumaha?" bukan "kumaha engke?". 

Pemerintah desa, alim ulama, hingga tokoh masyarakat bisa menjadi agen untuk kembali menghidupkan budaya beas perelek di lingkungannya masing-masing. Saya yakin, tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan, terutama di bulan Ramadan yang pernuh berkah ini.

Sekali lagi, budaya beas perelek mesti dihidupkan kembali dan harus tetap hidup di tengah masyarakat. Karena dengan beas perelek, masyarakat akan memiliki kemandirian pangan dan juga memupuk solidaritas sosial yang akan terus relevan hingga kapan pun. Perelek... perelek...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun