“Oke kalo begitu.” Dimmy berusaha tersenyum meskipun dia agak sedikit kecewa. “Kalau begitu saya mau pulang duluan ya Ndah. Ayam di rumah belom dikandangin.” Dengan berat Dimmy meninggalkan Meisya seorang diri menuju tempat parkir di mana ia memarkirkan sepedanya. Selepas ditinggal Dimmy, Meisya berjalan menuju halte yang ada di depan sekolahnya untuk menunggu bis kota jurusan ke arah rumahnya.
Tepat jam 6 Handphone Dimmy melantunkan nada dering sebuah lagu dengan suara yang sangat keras, dan hal itu nyaris membangunkan Dimmy bila saja ia tidak mematikan alarm tersebut lalu kembali tertidur.
“DIMMYYYYY….!!! Ya ampun, ini sudah jam ½ 7. Kamu ga sekolah?” Mama Dimmy menggedor pintu kamar Dimmy dengan sepenuh hati tanpa ragu-ragu.
“Iya ma. Dimmy menjawab dengan setengah hati dan masih bersembunyi di bawah selimut tebalnya, sebelum akhirnya ia terbangun dan mengucek kedua matanya dengan mulutnya menguap menyebarkan aroma tidak sedap yang membuat laba-laba di sudut kamarnya tewas seketika.
“Dimmy, ini sarapannya sudah mama siapkan.” Sambut mama ketika Dimmy baru saja menuruni tangga terakhir dari lantai atas rumahnya.
“Dim, ntar sore anterin gua ke toko buku ya. Kemaren bu Luri nyuruh beli buku LKS sejarah. Ya, please.” Dini memasang wajah memelasnya demi mendapat bantuan sang kakak.
Dimmy masih terus mengunyah roti isi keju buatan mamanya tanpa memperhatikan permintaan Dini.
“Dim, ayo dong tolongin gua. Ma, Dimmy tuh ga mau bantuin Dini”. Rengek Dini dengan manjanya kepada mamanya.
“Dim, anterin dong adikmu itu. Kan kasihan dia kalau harus ke toko buku sendiri. Tempatnya kan cukup jauh dari sini, nanti kalau adik kamu hilang bagaimana?”
“Biarin aja ma. Paling juga ntar yang nemuin bawa balik ke sini, mana mau nyulik anak kayak gitu. Udah manja, cengeng, makannya banyak. Bisa bangkrut yang nyulik ma.”
“Eh Dimmy, kamu ga boleh begitu dong. Bagaimanapun itu adik kamu satu-satunya. Lagian nanti kalau dia hilang pasti kamu kangen karena ga ada yang bisa dijailin.”
“Din, kalo gua anterin lu ke toko buku. Lu harus pijitin kaki gua yak selama 30 menit aja, ga usah lama-lama. Gimana?” Dimmy menjawab dengan mulut penuh roti dan susu, seperti anak beruang yang sedang memakan ikan salmon.
Dini tampak diam sejenak dan berpikir. “Iya deh, kalo gitu ntar sore anterin ya jam 4 an.” Dini sepertinya meyetujui persetujuan kakaknya itu.
“Sip.” Dimmy langsung mengambil tasnya dan berpamitan kepada mamanya. “Ma, Dimmy berangkat dulu ya.”
“Iya Dim, hati-hati di jalan. Ingat jangan bikin ulah lagi ya.” Senyuman tersungging di wajah mama Dimmy melihat putra sulungnya berangkat sekolah.
“Ma, Dini juga berangkat dulu ya. Udah jam tujuh kurang lima belas nih.”
“Iya, hati-hati ya sayang. Jangan makan kuaci di kelas lagi ya.”
Dini hanya tersenyum mendengar nasihat mamanya itu, dan bergegas pergi ke sekolah.
“Dim, tadi lu ditanyain Pak Par tuh. Tadi beliau nanya soal foto demonstrasi basket kemaren.” Netnet langsung menyambut teman sebangkunya itu dengan sebuah pertanyaan saat Dimmy baru saja menghinggapi kursinya yang sudah setahun ini menemaninya. Tapi tunggu dulu. Mengapa kursi ini sudah menemani dirinya selama setahun? Bukankah dia baru duduk di kelas dua? Seharusnya kan baru beberapa hari kursi ini harus menderita karena harus diduduki oleh mahluk super jorok yang mengganti celana seragamnya setiap 4 hari sekali ini? Jadi begini, untuk sekedar informasi. Dimmy ini memiliki kebiasaan unik lainnya, yaitu dia selalu setia terhadap satu barang yang dimiliki. Jadi kursi ini adalah kursi yang telah menemani dirinya sejak kelas satu SMA. Meskipun Dimmy pMeisya kelas, tapi dia tidak lupa membawa kursinya pMeisya pula.
“Waduh, kameranya gua bawa ga ya?” Sejurus kemudian segala isi tasnya sudah berada di segala penjuru meja Dimmy. Mari kita lihat benda-benda apa saja yang dibawa oleh Dimmy. Di atas meja terlihat beberapa buku pelajaran, beberapa buku tulis, peralatan menulis, dua buah buku komik, tissue yang sudah pernah dipakai, penggaris panjang, bola bekel, peniti, bungkus permen, beberapa lembar kertas bon, dan sepasang kaus kaki seminggu yang lalu.
“Dim, keren amat bawaan lu. Segala ada. Jangan-jangan di tas lu ada obeng sama linggis lagi?” Netnet hanya tersenyum melihat banyaknya barang bawaan Diimmy.
Dimmy tidak mempedulikan ocehan temannya itu. Saat ini dirinya hanya mengkonsentrasikan diri pada sebuah benda yang bernama kamera. Benda tersebut harus segera dikembalikan kepada Pak Par. Jika tidak jangan harap dirinya akan selamat dari suara keras Pak Par yang mengalahkan kerasnya suara toa demonstran di depan gedung DPR. Mungkin sebaiknya para demonstran tidak perlu membawa toa dalam melakukan demonstrasi, membawa Pak Par sepertinya sudah cukup.
“Ada ga Dim?”
“Entar dulu dong ah, ga sabaran banget sih lu.” Dimmy menjawab dengan ketus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H