Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia di Jam 02.00 Dini Hari

10 Maret 2021   08:22 Diperbarui: 10 Maret 2021   08:51 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara jam di ruang tengah yang dihiasi dengan batu-batu permata berdentang dua kali. Pak Romli (56 tahun) tampak tersenyum puas. 'Syukurlah Bu...semua akan terpenuhi', ungkapnya sambil membuang asa pada sang Istri yang duduk berhadapan dengannya. Berbeda dengan sang suami, Lia (50 tahun) yang juga Ibu dari tiga orang anak yang beranjak dewasa itu mengungkapkan 'jangan lekas puas Yah. Ibu masih harus memenuhi kebutuhan keluargaku. Mereka masih butuh banyak biaya, apalagi si Nenek sedang sakit'. 'Ibu Hanya takut kalau-kalau tabungan ini masih belum cukup', imbuhnya. Sejenak Pak Romli menarik napas panjang. 

Dalam benaknya ia berpikir keras 'bagaimana mungkin tidak cukup? dari delapan rekening tabungan yang dimiliki, malam itu mereka berhasil menghitung adanya total dana senilai Rp. 3,4 Trilyun. 'Padahal aku ingin segera menghentikan semua ini', tegasnya dengan nada lirih. Terlihat jelas bibir pak Romli bergetar, kemudian terlontarlah kalimat berikut 'Bu..... Ayah harus segera menghentikan semua hal ini. Ayah takut kalau ini akan berujung panjang'. Sorot mata Lia tiba-tiba terfokus pada sang suami, seakan-akan ingin mengutarakan sejuta alasan. 'Jangan Yah......sebab bagaimanapun, Ayah sudah menolong banyak orang dengan uang itu. Toh Kalau ayah tidak melakukannya, maka akan ada orang lain juga yang akan melakukannya. Selama kita bersikap adil, membagikan sebagian untuk orang lain maka semua akan baik-baik saja'.

Di jam yang sama, Ani (36 tahun) berupaya membangunkan sang suami. 'Bangun Pa, sudah jam 2. Nanti kita terlambat lagi. Pa.....bangun....takutnya lapak kita akan dipakai oleh orang lain Pa.....', ungkapnya dengan nada lirih. Sesekali ia melirik dua puteranya yang tengah tertidur pulas. Ani adalah satu dari sekian banyak pramugari yang harus diistirahatkan di rumah akibat pandemie Covid-19. Jony (40 tahun), suaminya adalah seorang pilot yang juga turut dirumahkan. Sudah sejak dua bulan terakhir, keduanya harus membanting tulang dengan membuka lapak mie ayam khas Jogja di dekat stadion Olah raga. 

Sesaat kemudian, keduanya sudah berada di dapur dan mulai bersiap untuk menyiapkan semua perlengkapan berdagang. 'Sabar ya Pa, semoga pandemik ini lekas berlalu dan kita bisa aktif di udara lagi', ungkap Ani yang disambut dengan senyum sang suami. Meski sulit, Jony tetap berusaha untuk mengobarkan semangat sang Istri. 'Kemarin rame banget ya Ma. Sehari kita bisa dapat untung Rp. 400.000,-', jelasnya. Sejenak asany melayang, membayangkan betapa besar gaji yang dulu ia peroleh. Tanpa terasa, air matanya meleleh seraya tetap mengucap syukur atas apa yang dialaminya. 'Papa...ucapan syukur yang terdalam adalah seperti saat ini. Yang kuat ya Pa.....'. Ani pun tak kursa Melihat sosok sang kapten yang kini harus membanting tulang guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kisah di jam 02.00 dini hari itupun belum berakhir. Di sebuah Apartemen, lampu masih menyala terang. Adi (38 tahun) baru Saja menyelesaikan draft thesis seraya mengirimkannya via email ke sang dosen pembimbing. Ini adalah tahun terakhir baginya untuk menempuh S-2. Bila tidak, ia akan terancam drop out. Setelah email terkirim, ia menyempatkan diri untuk mencari berberapa informasi di internet. Tiba-tiba suara email Masuk berbunyi. Adi pun tampak sangat berharap akan email tersebut. Iapun segera membuka inbox lalu membaca pesannya. 'Thanks Adi. Sudah saya terima dan saya baca. Namun sayang bab 2 Masih belum kuat. 

Tambahkan konsep da teori yang baru. Bab 3 juga belum kuat. Metodologinya Masih lemah. Sehingga bab 5 nya juga tida begitu menjawab rumusan masalah'. Adi tertegun membaca email tersebut. Kerja keras selama seminggu penuh seakan tak membuahkan hasil. Bagaimana mungkin ia mendapat response seperti itu Saja? Bagaimana cara memperkuat konsep di bab 2 Serta metodologi di bab 3? Tahukah si dosen bahwa ia telah memberikan yang terbaik di dalam thesis tersebut? Mengapa tidak ada saran yang lebih baik lagi? Yang bisa menuntunnya untuk menebak apa yang diinginkan oleh sang dosen pembimbing?        

Di bagian yang lain, Mario (40 tahun) tampak sangat gelisah. Keringat dingin mengucur deras. Sesekali ia menekan bavian perutnya seraya berbisik dengan perlahan 'Kenapa semua ini harus terjadi padaku?'. Di depannya terhampar enam jenis obat penenang. Sudah empat bulan ini, Mario terdeteksi mengalami gangguan mental. Ia adalah seorang akuntan yang cukup ternama. 

Pendidikannya sangat tinggi. Gelar S1 lampai S3 diperolehnya dengan IPK 4.00. Kesuksesannya mengundang iri banyak kalangan, hingga terjadilah peristiwa yang mengguncangkannya. Ia dijebak oleh mitra seniornya atas sebuah kajian laporan keuangan. Alhasil ketika hal tersebut terungkap ke publik maka namanya menjadi tercoreng. Citra Baik yang selama ini dibangunnya dengen peluh, harus sirna dalam hitungan hari. Namun lagi-lagi ketidakadilan berkuasa. Mitr seniornya selamat dari peristiwa itu dan meninggalkan Mario seorang diri.

Indonesia di jam 02.00 dini hari belum sepenuhnya terlelap oleh tidur. Begitu banyak insan yang Masih mengejar dan mendefinisikan keadilan. Bahkan seorang koruptor pun juga berusaha teras untuk memaknai setiap pemikirannya dengan simbol keadilan. Dengan mengatasnamakan aksi yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Kapten Jony dan istrinya Ani juga merupakan insan yang tengah mencari keadilan dalam hidupnya. Mereka merupakan korban dari pandemik Covid-19. 

Dengan upaya membanting tulang, mereka turut berupaya untuk mendefinisikan keadilan yang baru dalam kehidupannya. Adi dan Mario juga insan yang tengah berupaya untuk mencari keadilan. Semua dari kita adalah Pejuang-pejuang yang mencari keadilan di Dunia yang fana ini. Anehnya, semakin kita mencari, mk semakin sulit kita memaknainya.

Terkadang Kita lelah dan sempat berpikir untuk menghentikan upaya pencariannya. Namun pahamilah bahwa hal itu hanya akan menciptakan ketidakadilan baru bagi diri dan jiwa kita. Jangan-jangan ketidakadilan ini sejatinya merupakan keadilan bagi kita. 

Pak Roli harus mendengar jeritan hatinya untuk segera menghentikan aktivitasnya dan mengerah kepada piha yang berwajib, seraya meyelan pil ketidakadilan terhadap istri dan keluarganya. Kapten Jony dan Ani harus menghentikan upayanya untuk terus berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, seraya memandang pahitnya kehidupan sebagai sesuatu yang adil. Adi dan Mario kiranya harus melihat apa yang dialami sebagai sebuah keadilan yang sahih.

Keadilan kiraya bukanlah sesuatu yang kita cari, melainkan sesuatu yang perlu dibangun di daam paradigma kita. Bila kita mampu melihat ketidakadilan daam koridor keadilan, niscaya kita akan mampu tersenyum memandang hari demi hari.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun