Bulan Maret nanti, genap setahun sudah kita semua hidup di dalam pandemik Covid-19. Segenap aktivitas mulai dri Belajar, bekerja hingga beribadah kini dilakukan secara daring. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, kita kiranya patut memahami bahwa tak ada pilihan lagi selain tetap membangun produktivitas di Tengah-tengah keterbatasan yang ada.Â
Demikian pula dari sisi pekerjaan. Walaupun sempat beberapa kali melakukan sistim bekerja dari rumah, beberapa kolega menuturkan bahwa pada praktiknya sistim bekerja masih didominasi oleh bekerja dari rumah. Hal itu terjadi Karena munculnya beberapa klaster baru penyebaran Covid-19 di kantor-kantor. Sayangnya, ketika dievaluasi secara cermat, beberapa perusahaan menilai bahwa upaya membangun produktivitas ketika menjalankan sistim bekerja dari rumah hingga kini masih menjadi tantangan yang cukup berat.
Pada pertengahan Desember 2020 lalu, kami berkesempatan untuk melakukan survey terkait opini 224 profesional muda tentang tantangan dalam membangun produktivitas selama pandemik. Satu temuan yang menarik adalah bahwa 93% responden menyatakan bahwa mereja tetap berkomitmen untuk meraih keseimbangan dalam hidup (work life balance) meskipun Tengah menjalankan sistim bekerja dari rumah.Â
Betapa tidak, terdapat 91% dari responden yang menyatakan bahwa rata-rata waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan selama bekerja dari rumah adalah 660 menit atau 11 jam lebih. Hal ini tentunya jauh lebih besar daripada waktu yang diberikan ketika kita menjalankan sistim bekerja dari kantor yang hanya 8-9 jam sehari. Uniknya dari persentase tersebut, 98%-nya menyatakan bahwa pemicu over time dalam bekerja dari rumah lebih disebabkan Karena adanya perintah atau permintaan dari pimpinan yang setiap saat dapat diberikan melalui media elektronik. Â Alhasil realitas itu telah membuat work life balance menjadi sesuatu yang semakin jauh di awang-awang. Â Â
Langkah untuk membangun keseimbangan antara bekerja dengan menjalani kehidupan sejatinya merupakan impian semua orang. Merujuk pada indeks kebahagiaan yang dirilis beberapa minggu yang lalu, di Eropa da Tiongkok, meskipun tengah dilanda Covid-19 namun mayoritas Masyarakat memandang bahwa upaya beradaptasi dengan setiap keterbatasan yang dialami merupakan kunci untuk mencapai keseimbangan work life balance. Selanjutnya mekanisme itulah yang akan meningkatkan indeks kebahagiannya meskipun tengah dilanda pandemik.Â
Bercermin dari konteks tersebut, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. Pertama, pahamilah bahwa menurunkan work life balance dari level awang-awang ke dalam suatu bentuk kenyataan sebenarnya berangkat dari diri kita sendiri. Sebagai serrang profesional, kita harus berani untuk membicarakan konsep ini dengan atasan Serta tim kerja. Setiap anggota di dalam perusahaan harus menempatkan work life balance sebagai panduan budaya perusahaan.Â
Melalui upaya itu maka setiap pribadi akan berada pada satu pemahaman yang sama. Kedua, setiap profesional perlu sepakat untuk menentukan orientasi jam produktif di dalam bekerja. Studi yang dilakukan di sejumlah negara Baik di kawasan negara maju maupun berkembang menunjukkan bahwa jam kerja yang di atas 10 jam pada hakikatnya sudah tidak produktif lagi. Hal ini karena adanya pertimbangan efek lelah, jenuh serta kepenatan yang dialami oleh sema orang. Artinya, kalau toh hal itu dipaksakan, maka hanya fisiknya saja yang terlihat bekerja, namun jiwanya tengah berada di situasi yang lain. Alhasil fokus kerja tidak akan tajam lagi. Di sinilah tingkat produktivitas itu menurun.
Ketiga, untuk membangun produktivits, kita perlu menyusun skala prioritas target yang harus dicapai dalam satu hari. Sebagai profesional, kita perlu mengkategorikan mana target kehidupan pribadi yang harus diraih dan mana saja target pekerjaan yang harus dicapai dalam sehari. Setelah itu, tentukan sumber daya yang harus anda alokasikan demi pencapaian target-target tersebut. Di situlah anda akan menemukan sebuah posisi kesimbangan work life balance. Â Â Â
Keempat, berikan apresiasi kepada diri anda sendiri ketika sudah berhasil mencapai suatu target tertentu. Ini dapat berfungsi sebagai sebuah sweetener bagi jiwa kita yang haus akan ucapan terima kasih. Saat itu terjadi maka gerbang kondisi work life balance seakan terbuka bagi kita. Jangan lupa baha setiap apresiasi kecil akan berdampak pada munculnya semangat baru guna mearia target lain yang lebih besar.
Kelima, beranilah untuk mengatakan 'tidak' pada konteks aktivits di luar orientasi waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Meskipun ini mungkin sulit, namun mengatakan 'Baik Pak/Bu, target pekerjaan itu akan saya selesaikan keesokan Hari Karena sekarang sudah larut malam' kiranya akan menjadi pengingat bagi pimpinan kita akan pentingnya jam kerja. Sadar atau tidak, keberanian itu akan mengarahkan kita untuk memahami kesetaraan antara energi dan upaya yang kita berikan dengan kompensasi yang diterima dalam bentuk insentif. Â Â
Pada konteks tersebut terlihat jelas bahwa work life balance bermula dari diri kita sendiri. Bila para responden menyatakan bahwa mereka tetap mampu meningkatkan indeks kebahagiannya meski tengah dilanda pandemik, maka kitapun pasti bisa!.
Selamat berefleksi, sehat selalu dan sukses senantiasa menyertai Anda!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H