Antara senang dan bingung, itulah perasaan saya ketika tadi sore mendengarkan pengumuman terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Saya yang kebetulan berada di kisaran angka tersebut spontan bersuka cita karena akhirnya dapat beraktivitas bebas kembali.
Namun sejenak luapan kegembiraan saya terhenti saat menatap wajah istri saya yang hanya tersenyum kecut. Uniknya, tanpa perlu berkata-kata, sayapun dapat menebak arah pola pikirnya.
"Taruhlah sekarang mereka yang berusia di bawah 45 tahun boleh bekerja kembali secara aktif di kantor, apakah hal itu tidak malah mengkhawatirkan? Misalnya tanpa disadarinya, ia menjadi pembawa virus Covid-19 ke rumah karena terkena saat berada di transportasi publik saat pulang-pergi ke kantor".
Belum tuntas memperoleh jawabannya, sayapun berpikir "bukankah selama ini saya juga tetap menjalankan semua tugas kantor termasuk mencapai target kinerja bulanan mesai semuanya dilakukan di rumah?".
Asa sayapun seakan melayang, memikirkan keselamatan kita saat harus bekerja secara offline di tengah pandemi seperti ini. Karena gatal beropini, sayapun mengajak beberapa kelompok whatsapp untuk berdiskusi. Satu response yang unik saya temukan dari salah satu kolega yang berlatar belakang konsultan bisnis.
"Selang dua bulan terakhir kita telah belajar untuk mendefinisikan kata produktivitas, baik dalam bekerja maupun dalam hidup. Dan kini bila diminua untuk kembali pada rutinitas awal di tengah pandemi belum berakhir maka saya lebih baik memilih untuk berada pada definisi produktivitas yang baru".
Ungkapan tersebut cukup sederhana, namun setelah saya cermati ternyata memberikan makna yang sungguh luar biasa.
Makna produktivitas baru yang kita pelajari selama menjalani masa work from home telah membawa kita pada konteks kehidupan yang sangam seimbang antara kepentingan bekerja dan kepentingan keluarga. Makna inilah yang tetap akan saya jaga walaupun kebijakan WFH mungkin akan dihapus.
Bagi saya sekarang, produktivitas sudah bukan lagi dimaknai sebagai sesuatu yang hanya bisa dijalankan di kantor. Di manapun kita berada, produktivitas dapat tetap terus dibangun.Â
Sayapun memberanikan diri untuk bertanya pada kolega lainnya yang memiliki beberapa perusahaan di bidang konsultan keuangan dan pasar modal. Respon yang belie ungkapkan juga sungguh di luar dugaan. "Saya lebih memilih untuk mempekerjakan para business freelancer.
Di satu sisi saya bisa menekan biaya sebab tak perlu sewa gedung, tak harus memberikan tunjangan tetap dan lain sebagainya.
Di sisi lain mereka akan bekerja dengan sangat profesional sebab setiap honor yang diberikan sangat tergantung pada kualitas pekerjaannya. Dengan demikian perusahaan dan para business freelancer itu akan sama-sama diuntungkan".
Itulah kondisi 'normal' yang baru pasca pandemi ini berakhir. Kelompok profesional dengan kompetensi dan jam terbang tinggi akan memilih untuk menjadi business freelancer.
Kebebasan yang dimiliki saat menunaikan tugas akan menciptakan perasaan aman, terhindar dari risiko. Selanjutnya rasa aman itu pulalah yang membuatnya mampu menghasilkan kinerja jauh di atas rata-rata.
Tanpa berusaha untuk membangun polemik atas kebijakan yang membingungkan ini, kiranya kita perlu mendudukkan opini tersebut pada posisi masing-masing.
Bagi mereka yang memang harus menyelesaikan tugasnya di kantor - seperti arena membutuhkan alat-alat operasional khusus dalam bekerja perlu melihat kebijakan ini sebagai pintu bagi mereka untuk kembali menghasilkan kinerja yang secara langsung maupun tidak langsung akan menggulirkan roda ekonomi bangsa.
Sebaliknya bagi mereka yang berkesempatan untuk tetap menghasilkan kinerja walaupun tidak harus berada di lokasi kantor, kebijakan tersebut dapat dijadikan alternatif.
Mana yang lebih menciptakan rasa aman, apakah bekerja di kantor di Tengah pandemi atau tetap menjalankan WFH hingga kondisi pandemi benar-benar dicabut. Pilihan hati nurani kita jualah yang membuat perasaan aman dan nyaman dalam menghasilkan karya sebagai prasyarat mutlak untuk menciptakan produktivitas.
Saya teringat konsep result oriented working environment yang terkenal di pertengahan 90'an dan kini banyak mengilhami para business freelancer.
Konsep tersebut mengingatkan kita bahwa bekerja bukanlah tergantung pada gedung perkantoran.
Bekerja perlu dipandang sebagai sebuah proses dalam menghasilkan sebuah maha karya yang nantinya damat dinikmati oleh banyak orang.
Tak kan ada artinya bila kita sukses bekerja namun karena kelalaian malah tidak berkontribusi dalam menekan angka penyebaran pandemi ini.Â
Jadi sekarang, pilihan tetap ada di tangan kita antara berteriak mengucapkan Hore....atau Hore....selamat datang makna produktivitas yang baru.
Dengan cara ini setidaknya kita dapat terhindar dari pusaran kebingungan yang ada. Setidaknya kita tahu bahwa pemerintah tengah mendewasakan kita khususnya dalam menentukan upaya untuk menjaga keselamatan kita sendiri.
Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H