Sobat Kompasianer, 'Tetap sejahtera di segala kondisi' mungkin menjadi idaman setiap dari kita. Namun apakah kesejahteraan itu tetap dapat diraih meski kita tengah menghadapi pandemi Covid-19? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya kita perlu sejenak membuka konsep pengelolaan keuangan pribadi. Ada beberapa hal yang ingin saya bagi melalui artikel ini.
Pertama terkait definisi kesejahteraan itu sendiri. Pada sebuah kesempatan, saya membaca berita bahwa ada seseorang  yang berujar bahwa dirinya belum sejahtera, padahal beliau memperoleh pendapatan per bulan minimum Rp. 80.000.000,-. Padahal bagi sebagian orang (termasuk saya), pendapatan sebesar itu pasti sudah masuk dalam kategori sejahtera. Lalu apa sebenarnya kesejahteraan itu?
Secara umum, masyarakat kta menyamakan kesejahteraan dengan kemakmuran. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan opini tersebut namun secara teori, kemakmuran sebenarnya bereda dengan kesejahteraan. Kemakmuran merupakan sebuah kondisi di mana kebutuhan dan keinginan seseorang telah mampu dipenuhinya. Bila di persentasekan, ketika kebutuhan plus keinginan kita telah berhasil terpenuhi sebesar minimum 92% saja, maka kita sudah masuk dalam kondisi makmur. Dengan kata lain, kemakmuran memang identik dengan kekayaan.
Di sisi lain, kesejahteraan terdiri dari tiga pilar utama: kemakmuran, kesehatan dan kebahagiaan. Konsep ini bukan semata-mata sebuah common sense lho. Dari sisi ekonomi, perhitungan tersebut dapat dilihat pada konsep gross national expenditure. Pada konsep tersebut, sejahtera berarti kondisi di mana masyarakat terjaga baik dari sisi ekonomi maupun kesehatannya sehingga mereka akan mampu meningkatkan tingkat kebahagiaannya atau yang juga dikenal dengan indeks kebahagiaan (human happiness index). Itulah mengapa upaya menekan angka korban pandemi Covid-19 ini menjadi fokus perhatian semua bangsa.
Pada konteks tersebut, dapat dilihat bahwa keluarga yang memperoleh pendapatan rutin setiap bulan di angka Rp. 80.000.000,-belum tentu mampu mendefinisikan kesejahteraannya, bila ternyata dari sisi kesehatan yang bersangkutan mengalami masalah. Kemudian secara umum akan menekan angda kebahagiannya.Â
Sebaliknya, ada keluarga yang memperoleh pendapatan per bulan di bawah Rp. 5.000.000,- namun seluruh anggota keluarga mempunyai kesehatan yang sempurna sehingga dengan besaran pendapatan tersebut keluarga dapat merasa bahagia. Di situlah definisi kesejahteraan dapat kita temukan.
Nah dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa kesejahteraan bermula dari paradigma yang kita bangun. Lalu bagaimana kita mendefinisikan kesejahteraan di masa pandemi ini?
Merujuk pada ilmu manajemen keuangan pribadi, terdapat 6 rencana keuangan yang barus dibangun, meski dalam kondisi ekonomi yang kurang baik sekalipun.Â
Dua rencana yang harus kita perhatikan adalah rencana pendapatan dalam kaitannya dengan rencana konsumsi. Menyusun rencana ini harus dilakukan dengan mencatat setiap rencana konsumsi keluarga setidaknya dalam periode mingguan atau bulanan.Â
Dalam satu minggu ini, apa saja produk yang harus anda beli, mulai dari produr kebutuhan pokok hingga produk pendukung kehidupan anda. Lakukan survey melalui sejumlah situs belanja online yang tersedia untuk mencatat berapa estimasi harga dari setiap barang.Â
Cobalah untuk memetakan antara kategori konsumsi rutin harian, konsumsi rutin yang bersifat musiman hingga konsumsi yang tak terduga. Intinya adalah kita wajib mencoba disiplin mengatur pengeluaran anda. Sedapat mungkin kita batasi pengeluaran untuk konsumsi yang tak terduga. Tundalah dulu hingga pandemi berakhir untuk melakukan konsumsi tak terduga.