Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Corona adalah Penyakit, Bukan Aib, Sepakat!

17 April 2020   20:21 Diperbarui: 17 April 2020   20:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih lekat dalam ingatan saya, kala itu hari Minggu, 1 Desember 2019. Sesaat setelah berolah raga pagi, saya dikejutkan oleh sebuah email dari Jey Lo - sahabat saya yang bermukim di Propinsi Hubei, Tiongkok. 

Tak biasanya ia berbicara dengan saya melalui email sebab biasanya hanya menggunakan aplikasi whechat. Hati kecil saya mengatakan 'pasti ada hal yang tak beres'. 

Isi surelnya-pun sangat singkat "Aries, ada virus mematikan di propinsi kami, mirip seperti influenza; tenggorokan sakit, demam tinggi hingga di atas 39, semua tulang sakit dan sulit bernapas. Tolong informasikan ke orang tua saya di Taiwan, Terima kasih".

Setelah menyampaikan berita kepada orang tuanya, sebagai periset saya mencurahkan pemikiran untuk mempelajari virus tersebut. Dengan latar belakang bukan dari dunia medis, cukup sulit bagi saya untuk mempelajarinya. 

Saya mengajak Samuel, kolega saya yang berlatar belakang farmasi. Melalui tuntunannya, kurang dari satu minggu, kami berhasil memperoleh gambaran tentang virus yang kala itu masih dikenal dengan istilah novel-Corona (nCoV).

Penelusuran kami tertahan pada beberapa jurnal yang membahas tentang virus yang menyerang sistim respirasi kita. Virus yang kini kita kenal dengan Covid-19 merupakan anggota dari keluarga Corona. 

Anda mungkin masih ingat dengan virus yang kita kenal dengan istilah SARS atau MERS yang pernah juga menjadi pandemi global beberapa tahun lalu. 

SARS adalah Severe Acute Respiratory Syndrome Coronaviruses yang dalam istilah medis disebut dengan SARS-CoV. Sedangkan MERS adalah Middle East Respiratory Syndrome Coronaviruses (MERS-CoV).  Melalui temuan sederhana ini, kami akhirnya menelusuri kemungkinan penyebaran virus, apakah hanya dari binatang ke manusia atau sudah mampu berpindah dari satu penderita kepada orang lain dalam lingkungannya?

Cukup sulit melakukan penelusuran terlebih dengan pengetahuan medis yang nol. Akhirnya kami berhasil menemukan riset yang mengatakan bahwa dalam skenario percobaan di laboratorium yang menggunakan tikus sebagai percobaan, Coronaviruses terlihat dapat menyebar melalui kontak dengan penderita. Artinya, ketika penderita sudah diisolasi maka potensi penularan dapat diminimalkan. 

Selanjutnya dari hasil riset yang lain terdapat temuan bahwa proses penularan cukup berisiko bila daya tahan tubuh kita lemah atau memiliki riwayat penyakit sebelumnya, seperti diabetes, darah tinggi atau sakit jantung. Kuncinya adalah ketika pola hidup kurang terjaga maka kekuatan penyakit yang saya sebutkan tadi akan meningkat. Pada kondisi itulah daya tahan tubuh melemah sehingga virus corona dapat dengan mudah berpindah. 

Kami-pun berpikir 'bagaimana dengan keselamatan para tenaga medis yang menjadi pejuang di garis depan?'. Sebab berbeda dengan coronaviruses lainnya, virus yang satu ini belum juga dapat ditemukan antivirus atau vaksin-nya. Sehingga langkah potensial yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat daya tahan tubuh agar mengurangi potensi terkena virus.

Memasuki akhir Desember 2019, Jey Lo kembali mengabarkan, kali ini kami dapat berbicara melalui salah satu aplikasi. "Aries, kemungkinannya akan ditutup, jadi untuk sementara saya tidak bisa keluar dari sini. 

Jangan khawatir, saya dan keluarga kecil saya sehat-sehat semua!" Saya-pun hanya mengingatkan untuk mencukupkan bahan pokok sehari-hari. 

Seiring dengan itu, media sosial mulai dijejali dengan berita tentang virus ini. Dengan tehnik data mining yang saya kuasai, sekitar 88% lebih berita yang tersebar di media telah menobatkan virus ini sebagai hal yang merisaukan. 

Seakan tak percaya dengan berita tersebut, saya berusaha untuk meminta pandangan dari sisi riset medis terkait pneumonia yang cukup berelasi dengan corona. 

Kali ini saya berhubungan langsung dengan salah seorang Professor di Taiwan. Pilihan saya didasarkan pada pertimbangan dekatnya wilayah Taiwan dengan Tiongkok. 

Begini penuturannya "Intinya, jangan takut! Namun harus tetap waspada. Isolasi adalah hal yang terbaik, karena setelah kurun waktu tertentu virus dapat mati, tentunya dengan meningkatkan daya tahan tubuh. Isolasi disarankan agar partikel saat penderita batuk atau bersin dapat berpindah ke orang lain. Kesadaran diri sendiri mutlak sangat penting untuk pengendalian virus ini."

Sebagai ilmuwan, saya melihat potensi risiko yang sangat besar. Namun pada saat yang sama, saya ditantang untuk menemukan solusi terbaik dalam menghadapi virus yang mulai menjadi pandemi ini. 

Dua rumusan yang saya temukan adalah: 1) Perkuat daya tahan tubuh dan 2) Kesadaran untuk melakukan isolasi mandiri bila simptom tiba. Perlahan, beberapa kebijakan seperti isolasi mandiri selama 14 hari setelah bepergian ke wilayah yang terpapar pandemi mulai bergaung. Sayangnya, gema rumusan pertama kurang terdengar. Di sinilah saya melihat ketidakseimbangan pesan yang beredar di masyarakat. 

Memasuki bulan Februari lalu, rumusan saya bertambah satu yakni: menjaga kebersihan diri secara lebih cermat, khususnya mencuci tangan. Pertanyaan saya kala itu, "mengapa harus cuci tangan?" Ternyata jawabannya ada pada gerak tubuh kita saat batuk. 

Tanpa disadari, kita menutup mulut dengan telapak tangan saat batuk. Di situlah virus kemudian menyebar lewat benda-benda yang dipegang oleh penderita ke orang lain. Dengan cuci tangan secara bersih dan memanfaatkan sabun maka virus sebenarnya tak mampu bertahan. 

Pasca kasus positif ditemukan di bumi Nusantara maka terbayang bahwa kebijakan pembatasan kontak sosial atau karantina akan menjadi pilihan. Namun di sisi media, kita lebih banyak terfokus pada berapa jumlah penderita dan berapa korban nyawa akibat virus ini. Cukup minim informasi tentang bagaimana para penderita dapat sembuh dari covid-19. 

Obyektivitas dalam mencermati keadaan serta bijak dalam menyampaikan pandangan merupakan kunci sukses dalam berperang dengan Covid-19. Riset kami-pun terarah pada potensi penyebaran virus ketika penderita meninggal dunia. Simpulan yang diperoleh adalah ketika penanganan sudah tepat dan dengan kedalaman minimum 1,5 meter maka hal-hal negatif yang semula dikhawatirkan sebenarnya dapat diminimalkan. 

Atas semua temuan tersebut, layaklah kita semua melihat Covid-19 dari sisi kemanusiaan. Corona BUKAN aib! Ini merupakan sebuah penyakit yang menjadi pandemi global karena ketidaksiapan kita dalam menciptakan vaksin yang tepat. Semua gerakan yang bersifat preventif seperti kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau yang bersifat reaktif seperti penetapan prosedur pengobatan dan lain sebagainya WAJIB dilihat sebagai upaya kemanusiaan dalam menjaga keselamatan orang lain.

Mari kita renungkan bahwa para pejuang medis pasti mempunyai ketakutan yang sama. Namun hanya ketaatannya kepada Tuhan Yang Maha esa yang telah menuliskan garisan tangan sebagai tenaga medislah yang memberi mereka kekuatan untuk melawan setiap bentuk kekhawatiran dan ketakukan. 

Mari kita lihat apa yang akan terjadi bila para tenaga medis menolak untuk memberi pertolongan seraya menuruti kehendak bebasnya. Pastilah pandemi ini akan semakin mengganas. Ucapan terima kasih kiranya belumlah cukup untuk membalas jasa-jasa mereka.

Demikian pula halnya dengan para penderita yang berhasil sembuh. Mereka juga punya hak untuk kembali kepada kehidupan normal mereka seperti sebelum terjangkiti oleh virus. Mereka bukanlah orang yang harus diwaspadai. Sebaliknya, dari merekalah kita bisa belajar banyak tentang bagaimana cara melawan virus ini. Inilah informasi penting yang kini wajib dimiliki oleh kita semua.

Dengan peluang yang sama, virus ini dapat diderita oleh orang-orang terdekat atau bahkan kita derita juga. Marilah kita bijak dalam mendudukkan realitas ini pada porsinya. Khawatir itu adalah hal yang wajar, namun waspada dalam segala hal akan lebih penting di saat-saat ini. Kewaspadaan yang bersifat preventif, reaktif maupun korektif akan menjadi solusi jitu dalam melalui masa-masa sulit ini.

Tanggal 1 Desember akan kita temukan di tahun-tahun yang akan datang. Namun pembelajaran berharga tentang kemanusiaan ini akan terukir indah dalam sejarah kehidupan. Atas hal itu maka ucapan syukur karena kita diijinkan berada di dalam ziarah kemanusiaan ini kiranya patut kita naikkan. Anak-cucu kita akan mencatat kontribusi terbaik kita dalam melawan Corona. 

Marilah kita satu bahasa, SEPAKAT bahwa Corona BUKANLAH aib! 

Salam sehat selalu!       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun