Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar dari Rumah, Orangtua Pusing, dan Anak Pening

15 April 2020   19:49 Diperbarui: 16 April 2020   14:57 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir lima pekan ini, pemberlakuan social distancing telah membuat proses belajar harus dilakukan dari rumah. Alhasil setiap jam 8 pagi sampai dengan kira-kira jam 11.00 siang, atmosfer 'ketegangan' cukup terlihat di ruang keluarga. 

Ayah terlihat fokus dengan laptopnya karena melakukan aktivitas kerja dari rumah, sedangkan Ibu tengah sibuk memainkan peran gandanya: antara peran sebagai wanita karir ataupun Ibu rumah tangga. 

Di depan televisi, duduklah dengan tenang duo si kecil, menantikan acara di televisi nasional seraya mengerjakan tugas-tugas lainnya yang diberikan melalui google classroom atau pesan yang diberikan Ibu Guru dari whatsapp. 

Di satu sisi, ada banyak hal-hal positif yang dapat dibangun. Saya baru menyelami materi pembelajaran anak-anak yang terkadang mempunyai perbedaan dengan cara dahulu kala. Tak hanya itu, saya dapat bekerja sambil melihat aktivitas anak-anak. Namun di sisi lain, situasi tersebut ternyata sangat menantang.

Saat Ayah dan Ibu tengah sibuk dengan aktivitasnya, tiba-tiba si kecil menanyakan cara mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sang Ibu-pun langsung turun tangan membantu putera-puterinya dengan sangat cekatan. 

Tak terhenti di situ, begitu selesai mengerjakan, Ibu dan Ayah saling bahu membahu meng-upload setiap pekerjaan di google classroom. Tak jarang pekerjaan kantor harus terhenti sejenak untuk memberikan ruang agar si kecil berhasil mengumpulkan tugas-tugas sekolahnya. 

Pada awal pemberlakuan pola belajar tersebut, setiap orang tua terkesan cukup tenang menghadapi rutinitas yang baru. Namun tanpa disadari, seorang Guru mengumumkan urutan siswa yang mengumpulkan tugasnya dari urutan tercepat (nomor satu) hingga yang paling terakhir mengumpulkan. 

Melihat hal itu, hati Ibu pasti terketuk, "jangan sampai anak saya menjadi yang paling terakhir mengumpulkan". Perlahan namun pasti, kecepatan dalam menyelesaikan tugas di hari-hari berikutnya menjadi meningkat cukup tajam. 

Tiap kali selesai dengan tugas dan langsung mengumpulkan, sang anak bertanya "hari ini adek urutan berapa, Ma?" atau "hari ini kakak ada di urutan berapa Ma?"

Pada konteks tersebut adrenalin pun seakan turut dipacu. Uniknya, anak-anak semakin bersemangat untuk bangun pagi. Itu berarti peran Ibu sebagai pengarah gizi keluarga harus diawali lebih pagi. 

Demikian pula sang Ayah. Ia harus bangun lebih awal untuk segera mengerjakan tugas-tugas kantor lebih cepat agar dapat membantu anak-anak belajar. 

Memasuki dua minggu terakhir, pekan ulangan mulai terjadi. Tak jarang beberapa Guru menggunakan video call untuk memberikan pertanyaan lsian kepada putera-puteri kita. 

Alhasil adrenalin pun semakin terpacu. Sebagai orang tua kita menginginkan yang terbaik untuk mereka. Sehingga kita terus memacu agar mereka lebih aktif menyiapkan diri walaupun tengah di rumah. 

Sebagai konsekuensinya, merekapun seakan berupaya untuk menambah pengetahuannya. Intensitas pertanyaanpun semakin bervariatif, dari yang tadinya bisa dijawab dengan mudah (dengan pengalaman yang lebih tinggi tentunya) hingga yang memerlukan pertolongan si Google. 

Wajah sang Ibu sejenak terlihat sangat tegang. Dahinya mengernyit seakan berpikir keras akan sesuatu. Betapa tidak, seseorang berlatar belakang ilmu sosial harus menjawab pertanyaan puteranya di seputaran ilmu science (fisika atau bilogi). 

"Coba tanyakan ayah" pinta Ibu. Spontan, secara sistematis, pusaran kepanikan berpindah ke posisi Ayah. Kali ini dengan modal ketekunan mencari informasi di internet, sang Ayah berusaha membantu mencarikan solusi terbaik. 

Tanpa terasa beberapa menit pun berlalu dengan keheningan. Di satu sisi Ayah dan Ibu semakin pusing, putera-puteripun semakin pening. Solusi yang diharapkan tak kunjung ditemukan. 

Alhasil mereka bersama-sama pasrah, lalu melaporkan kepada Ibu Guru jika mereka tidak menemukan jawabannya. Dengan responsif sang Ibu mengambil handphone dan segera melaporkan kondisi ini. 

Secara mengagetkan, Ibu Guru menjawab: "Oh tidak berhasil menjawab ya Bu. Maaf... mungkin soalnya ada yang tidak lengkap. Saya perbaiki dulu ya Bu".

Sejenak semua orang tertawa melihat realitas itu. Kita semua tengah berhadapan dan berusaha untuk beradaptasi dengan pola yang baru. 

Alih-alih melihat kondisi ini sebagai sesuatu yang memberatkan, marilah kita pandang ini sebagai sebuah tantangan. Sinergi antar anggota keluarga akan memastikan keberhasilan dalam menyelesaikan setiap tugas. 

Selanjutnya tantangan terbesar adalah ketika tagihan uang sekolah tiba melalui surel. "Loh kok malah nambah tagihannya....bukannya Ortu yang sudah jadi guru mereka beberapa waktu terakhir ini ya?" Spontan hal ini akan menciptakan rasa pening tujuh keliling. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun