Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Susahnya Disuruh Anteng di Rumah

14 April 2020   17:09 Diperbarui: 14 April 2020   17:15 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar secara lebih ketat di DKI Jakarta hari ini genap berusia 5 hari. Namun sejak kemarin, beberapa berita mengungkap adanya peningkatan frekuensi warga yang beraktivitas di luar rumah. 

Tak hanya itu, cerita teman-teman di beberapa whatsapp group juga mengisahkan hal yang sama. Beberapa warga tampak tetap berangkat kerja seakan tak menghiraukan sisi kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya. 

Bayangkan saja ketika ia terkena virus lalu kembali ke rumah dan bercengkerama dengan anggota keluarga. Bila penanganan higienitas dirinya tidak begitu baik maka virus dapat dengan mudah berpindah dari satu orang ke orang yang lain. Bukan hanya dirinya yang dirugikan namun anggota keluarga serta masyarakat sekitar dapat terdampak.

"Disuruh anteng di rumah kok sulit yah?" Begitulah respon saya pada teman-teman di group. Diskusipun menjadi begitu menarik karena masing-masing anggota berusaha menguraikan alasan mengapa ada pihak yang mengesampingkan arti penting social distancing. 

Kalau dirunut, semua orang di saat ini butuh uang, terlebih dengan menghadapi pandemi seperti ini. Konsumsi asupan gizi pasti bertambah. Demikian pula kuota data pasti bertambah secara signifikan, baik untuk bekerja maupun untuk kebutuhan proses pendidikan anak-anak yang kini juga dilakukan dari rumah. 

Belum lagi munculnya kebijakan 'JFH' alias 'Jajan From Home'. Semakin pelik problem yang harus diselesaikan lewat sistim kerja dari rumah maka semakin aktif aktivitas JFH-nya. Di satu sisi pendapatan tetap atau bahkan menurun namun di sisi lain pengeluaran meningkat drastis. Situasi ini yang membuat saldo  tabungan seakan enggan beranjak naik.

Sejenak saya berusaha untuk menggunakan teori berpikir sistematis untuk mengurai pertanyaan tersebut. Pertama, apakah hal di rumah yang membuatnya merasa tidak nyaman sehingga harus beraktivitas di luar rumah? 

Mencari solusi atas pertanyaan ini ternyata tidak mudah sebab selama kebijakan PSBB, di rumah yang tinggal adalah semua anggota keluarga: istri dan anak-anak. Apakah kedua pihak tersebut yang menciptakan rasa kurang nyaman? Harusnya tidak. 

Uniknya, salah seorang teman di group berujar; mungkin lebih takut kepada istri daripada virus yang mematikan ini. Sejenak celotehan tersebut terkesan sangat lucu. 

Namun inilah cerminan terbesar dari masa pandemi ini. PSBB secara tidak langsung mengingatkan kita akan arti penting ikatan dalam sebuah keluarga. Sikap tenggang rasa dan saling memahami kiranya menjadi elemen vital yang membuat kita semua betah di rumah saja.

Jika faktor penyebab sudah berhasil teridentifikasi maka pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan agar oknum tersebut dapat betah di rumah? Jawabannya, ia harus menemukan seraya membangun elemen ketertarikan untuk tetap di rumah. 

Misalnya dengan membangun pola komunikasi yang lebih intens dengan sesama anggota keluarga agar situasi dapat bergerak ke arah yang lebih kondusif.

Atas temuan solusi itu, anggota yang lain seakan tak mau menutup diskusi. 'Kalau ia tetap tidak mau tinggal di rumah, lalu apa yang harus dilakukan?' Jawaban saya adalah laporkan kepada petugas keamanan agar diminta untuk mengisi formulir yang menyatakan bahwa ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Formulir ini persis seperti yang diberikan kepada para pelanggar di jalan raya pada hari ke 5 penerapan PSBB ini.

Meski jawaban itu terkesan sederhana, namun bila dicermati lebih lanjut, terdapat makna yang cukup mendalam. 'Apakah para pelanggar aturan PSBB cukup jera dengan menandatangani pernyataan tersebut?'. 

Saya teringat beberapa kisah ketika delegasi kesehatan Tiongkok tiba di Italy di akhir bulan Maret lalu. Delegasi yang sejatinya membantu Italy dalam memerangi pandemi dibuat tertegun setelah melihat penerapan lockdown di sana. 

Mulai dari moda transportasi darat seperti bus yang masih lalu lalang, dan kedisiplinan masyarakat dalam menjaga jarak satu dengan sama lain yang masih lemah. 'Inikah yang dimaksud dengan lockdown?' tanya mereka dengan nada prihatin.

Para delegasi itupun berujar tentang bagaimana kedisiplinan masyarakat di kota Wuhan kala pandemi menyerang. Masyarakat benar-benar dilarang keluar rumah dan hanya diijinkan pada hari dan jam tertentu, itupun untuk mencukupi kebutuhan pokok untuk beberapa hari berikutnya. 

Kedisiplinan mereka dalam menggunakan masker yang tepat dan sarung tangan yang sesuai aturan ketika keluar rumah benar-benar menjadi kunci untuk menekan angka pertumbuhan pandemi. 

Kisah yang saya baca di sejumlah surat kabar tersebut seakan kini terjadi di wilayah kita. Bagaimana kita dapat menghargai orang lain bila kita masih sulit menghargai diri kita sendiri?

 Pola pikir untuk tidak membuat jerih payah para pejuang kesehatan di garda depan sia-sia hendaknya menjadi acuan paradigma seluruh elemen masyarakat di kala pandemi ini. Keseragaman cara pandang inilah yang harus ditegakkan saat ini. 

Sebab semakin kita 'ndablek' dengan tidak menghiraukan aturan yang ada maka semakin lama masa pemberlakuan PSBB karena kebijakan tak kan mampu meredakan laju pertambahan jumlah kasus Covid-19. 

Atas hal tersebut, kiranya kita perlu mendudukkan definisi 'rumah kita'. Rumah yang aman, nyaman dan bahagia bagi seluruh anggota keluarga. Kita bisa menggali banyak kegiatan bersama. 

Marilah kita mencermati ada banyak aktivitas atau kebiasaan para anggota keluarga yang baru teridentifikasi selama pemberlakuan PSBB ini. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mulai membangun semangat gotong royong dalam menghadapi problem bangsa. Sebab ketika semangat keluarga terbangun maka di situlah semangat untuk bersatu terpupuk. Ini bahkan dapat menjadi sebuah gerakan nasional.

Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang masih tinggal sendiri alias jomblo? Ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri status jomblo itu sendiri. Berpasangan kiranya lebih ideal dalam melewati masa pandemi seperti ini, mengingat hampir semua hal dipikirkan berdua. Mari manfaatkan semua media sosial yang ada, siapa tau dapat mengarahkan anda pada pasangan jiwa yang selama ini temaram.

Refleksi di atas menunjukkan bahwa efektivitas penerapan PSBB ternyata berawal dari kesadaran kita untuk taat pada aturan 'ayo anteng di rumah'. Kesadaran akan pentingnya memperhatikan sisi kesehatan diri sendiri merupakan hal yang vital sebab dengan cara itulah kita turut menjaga kesehatan mereka yang kita sayangi, mulai dari keluarga, masyarakat dan Bangsa. 

Semua pihak sepakat bahwa pandemi ini telah menyerang dunia serta secara perlahan melumpuhkan ekonomi kita. Oleh karenanya, memusatkan pikiran pada upaya menyehatkan diri dan masyarakat secara fisik menjadi syarat mutlak bagi kebangkitan ekonomi di kemudian hari. Jangan lupa ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu pasca pandemi ini berakhir. Ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk beristirahat dari setiap keriuhan kehidupan yang ada. 

Ayo kita anteng di rumah saja, demi tercapainya sasaran penanggulangan Covid-19. Semoga besok (hari ke 6 penerapan PSBB secara lebih ketat) menunjukkan adanya penurunan aktivitas masyarakat di luar rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun