Sosok Eka Kurniawan mungkin sudah mengangkasa di kalangan pecinta sastra dan literasi di negeri ini. Bahkan karyanya sudah mulai diperhitungkan di kancah dunia beberapa dekade kebelakang. Salah satu barometernya banyak dari novelnya sudah dialihbahasakan ke berbagai negara. Ini menjadi salah satu pencapaian yang membanggakan bagi perkembangan kesusastraan di Indonesia. Penulis asal Tasikmalaya ini merupakan pengagum pengarang sekaligus sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer. Banyak dari spirit karyanya terispirasi dari tulisan-tulisan Pram. Bahkan ketika Eka menamatkan studinya di Universitas Gadjah Mada, ia menyusun skripsi dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Dapat dikatakan skripsi Eka Kurniawan ini merupakan karya nonfiksi pertamanya yang diterbitkan berulang kali.
Perjalanan seorang Eka Kurniawan dalam dunia kepenulisan tentu tidak bisa dianggap mudah dan instan. Ia memulai kecintaannya pada menulis secara ‘iseng-iseng’ di usianya yang menginjak 11 tahun. Ia tumbuh di kota kecil Pangandaran, Jawa Barat, tidak banyak yang bisa dilakukan disana kala itu. Aktivitasnya mungkin cuma main bola, atau berenang. Tetapi Eka kecil tidak terlalu menikmatinya, ia lebih suka membaca. Namun demikian di kota kecil itu tidak terlalu banyak toko buku atau taman bacaan. Eka hanya membaca buku yang ada saja. Meskipun pilihan tema atau judulnya tidak terlalu banyak juga. Justru dari situ, cikal bakal keinginannya untuk menulis cerita karangannya sendiri lahir. Sejak saat itu Eka rutin menuliskan apa yang terlintas di pikirannya secara sederhana. Beberapa karyanya sempat masuk majalah anak-anak. Kebiasaan itu berlanjut hingga SMP dan SMA. sejauh itu, menulis masih sekadar hobi dan kegembiraan saja. Belum sama sekali terpikir untuk menjadi penulis profesional.
Eka mulai menulis serius ketika akhir-akhir kuliah, sekitar tahun 1997-1998. Pada masa akhir kuliah, ia mulai memantapkan diri untuk menjadi penulis karena memang tidak terpikirkan untuk menjadi pegawai kantoran. Menjelang lulus, karyanya sempat dimuat pada sebuah media lokal di Jogja, di harian Bernas. Ketika itu, ia memulainya dengan menulis cerita pendek, karena memang masih belajar. Keberanian untuk mengirim karya ke media besar juga belum ada. Begitu cerpen tersebut dimuat oleh Bernas, Eka muda lalu mulai berani untuk mengirim beberapa naskah tulisannya ke media nasional. Beberapa tahun kemudian, cerpen-cerpen miliknya dikumpulkan untuk menjadi sebuah buku. Baru setelah itu ia memberanikan diri untuk menulis novel.
Ketika ia menyusun naskah novel dan jadi. Hambatan tak berhenti begitu saja. Pasalnya dahulu, sebelum ia dikenal publik banyak dari naskah novelnya ditolak berbagai penerbit buku. Namun siapa sangka saat ini naskahnya sudah diterbitkan ke banyak bahasa dan melalang buana ke berbagai negara. Eka sendiri bahkan tak pernah membayangkan akan jadi seperti ini sebelumnya. Sebagai contoh nyata, salah satu novel masterpiece miliknya yang berjudul Cantik itu Luka sempat terkendala karena mendapat penolakan dari berbagai penerbit buku dalam negeri. Lalu pada tahun 2002 akhirnya naskah itu diterbitkan oleh Penerbit Jendela dari Yogyakarta.
Cantik Itu Luka pun diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka pada tahun 2004, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Okta dan diterbitkan Shinpusha pada tahun 2006. Eka mendapatkan Golden Card begitu buku itu dilirik oleh penerbit asal Amerika, New Directions Publishing, dan diterbitkan di pasar Amerika dengan judul Beauty Is a Wound pada tahun 2015.
Dalam prosesnya, Eka sendiri sempat merasa ragu untuk menerbitkan karyanya di luar negeri, mengingat satu-satunya penulis Indonesia saat itu, yang karyanya dialihbahasakan dan diterbitkan di luar negeri hanya Pramoedya Ananta Toer. Seorang sastrawan legenda Indonesia yang banyak melahirkan sastra kanon.
Berawal dari keraguan itu membuat Eka saat ini berdiri di langkan yang sama tinggi dengan para penulis dunia. Dalam dirinya bermanifestasi banyak pengarang dan novelis terkemuka. Ada yang mengatakan gaya dan teknik menulis Eka serupa dengan penulis asal kolombia yang menyabet Nobel Sastra tahun 1982, Gabriel Garcia Marquez dan pengarang asal India yang memenangkan Man Booker Prize ‘Midnight’s Children’ tahun 1981, Salman Rushdie. Dirinya juga tergerak untuk menggeluti dunia kepenulisan secara serius setelah membaca novel Lapar karya Knut Hansum, pengarang asal Norwegia. Novel itu menginspirasinya karena bercerita tentang penulis pemula yang pergi ke ibu kota Norwegia. Dia berjuang dengan keras demi menjadi penulis, sampai dia kelaparan dan tak memiliki apapun. Di lain sisi Eka Kurniawan digadang-gadang menjadi penerus Pramoedya Ananta Toer dalam misi memperkenalkan sastra Indonesia ke kancah dunia luar.
Menurut Bernard Batubara, penulis muda asal Pontianak dan juga salah satu pengagum karya-karya Eka Kurniawan mengatakan, “Kupikir aku mengagumi Bung Eka karena salah satunya, ia sangat sadar teknik menulis dan setahuku tidak banyak penulis Indonesia yang bisa seperti itu.” Namun bagi saya sendiri, Eka Kurniawan bukan hanya sadar teknik kepenulisan, lebih dari itu, ia mampu mempermainkannya dengan begitu cerdik. Kalau teknik menulis itu ibarat kobaran api. Eka tidak menghasilkannya seperti obor, menggebu-gebu lalu lekas padam. Bukan juga seperti lilin, redup namun mampu bertahan lama. Melainkan seperti kompor yang takaran apinya ia bisa besar-kecilkan semaunya.
Berbagai penghargaan prestisius tingkat internasional pernah diraih Eka Kurniawan. Pada tahun 2015, Eka dipilih sebagai salah satu Global Thinkers of 2015 oleh jurnal Foreign Policy atas pencapaiannya meletakkan kembali sastra Indonesia kedalam peta kesusastraan dunia. Lalu Ia juga pernah terpilih sebagai peraih Prince Clause Award 2018 di Belanda. Penghargaan tahunan ini diberikan kepada individu, kelompok, atau organisasi bergerak di bidang kebudayaan yang karyanya memberikan dampak positif pengembangan masyarakat di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia. Berdasarkan keterangan panitia Prince Claus Award, Eka Kurniawan terpilih karena kemampuannya menarasikan kisah-kisah imajinatif lewat keindahan prosa dan juga universalitas materinya.
Selain itu novel-novel karyanya juga pernah mewujud-rupakan eksistensinya di mata dunia. Novel Cantik itu Luka pernah meraih penghargaan World Readers Award tahun 2016. Lalu novel keduanya Lelaki Harimau pernah meroket juga dengan masuk kedalam longlist Man Booker International Prize 2016 dan memenangkan perhelatan Emerging Voice FT/Oppenheimer Award tahun 2016. Gayung bersambut novelnya Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas difilmkan ke layar lebar dan berhasil memperoleh penghargaan seperti pemenang Golden Leopard sebagai film terbaik dalam festival Film Locarno, Swiss. Dan terakhir novelnya yang berjudul “O” mendapat penghargaan S.E.A Write Award tahun 2019.
Lantas bukan tidak mungkin dalam hitungan beberapa tahun kedepan seorang Eka Kurniawan mampu memenangkan penghargaan bergengsi sekaliber Nobel Prize Literature bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H