Manusia saat ini sebagai bagian dari homo sapiens, menghadapi laju perkembangan zaman yang terlampau progresif serta dinamis. Kecepatan laju perkembangan zaman mengkonstruksi kehidupan manusia kearah yang lebih kelabu.Â
Bagaimana tidak? modernisasi membuat batasan-batasan menjadi kabur dan absurd. Salah satu contohnya yaitu modernisasi menimbulkan fenomena westernisasi. Fenomena dimana masyarakat mengadopsi gaya hidup serta budaya barat tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu.Â
Padahal belum tentu semua kultur barat sesuai dan memiliki dampak yang positif jika diterapkan di negara kita. Terlebih secara geografis, Indonesia masuk kedalam negara bagian timur karena berada di benua Asia Tenggara. Sehingga ini mengaburkan batasan yang berbeda antara negara bagian barat dan timur baik secara kultur, tata nilai dan hal lainnya.Â
Selain daripada itu, modernisasi menjadi salah satu dalil pembenaran suatu kepentingan. Sebagai buktinya yaitu lahan dan hutan yang ada diubah menjadi berbagai perusahaan industri atas dasar alasan pertumbuhan ekonomi makro. Inilah bagaimana cara kerja modernisasi membenarkan perusakan alam dan pencemaran lingkungan.Â
Pusaran modernisasi ini melempar kita kedalam suatu situasi dan kondisi yang tidak menentu. Keadaan itu dikenal dengan istilah VUCA era dan diperburuk lagi dengan adanya pandemi Covid-19. VUCA sendiri merupakan singkatan dari istilah inggris yang terdiri dari Volatility (bergejolak), Uncertainty (tidak pasti), Complexity (rumit) dan Ambiguity (tidak Jelas). Istilah ini pada awalnya lahir dari dunia permiliteran di era 90-an.Â
Istilah ini menggambarkan situasi medan tempur yang dihadapi oleh pasukan operasional dimana informasi medan yang amat terbatas. Bertempur dalam keterbatasan informasi berpotensi menimbulkan chaos. Uniknya, istilah tersebut kemudian memiliki tafsiran yang luas hingga dapat digunakan dalam menggambarkan situasi saat ini.
Pergeseran dunia di era VUCA ini tidak terprediksi dan dipengaruhi banyak faktor yang sulit dikontrol. Fakta dan realitas menjadi sangat subjektif. Pengaruh terbesar di zaman ini yaitu pesatnya kemajuan teknologi dan internet. Bayangkan, baru sekitar awal tahun 1990-an internet masuk ke bagian hidup kita.Â
Sekarang, bisakah kita bayangkan hidup kita tanpa internet? Setiap jengkal hidup kita bersentuhan dengan internet dan teknologi yang terus berevolusi. Maka menjadi adaptif adalah kunci utama menghadapinya, seperti ungkapan Albert Einstein, "The measure of intelligence is the ability to change". Ukuran suatu kecerdasan itu dinilai dari kemampuan untuk berubah (adaptasi).Â
Ketika semua manusia memiliki teknologi dan dapat mengakses internet, maka saat itu pula panggung informasi menjadi milik siapa saja. Siapapun dapat berselancar di dunia digital, memproduksi hingga mengkonsumsi berita dan informasi yang tersaji. Berangkat dari fenomena tersebut tak khayal, fake news atau lebih familiar dengan sebutan hoax dapat muncul. Berangkat dari latar belakang tersebut, penguasaan literasi digital (Digital literacy) diperlukan khususnya oleh kaum milenial, kaum yang telah menjadikan digital sebagai salah satu kebutuhan primernya.Â
Gilster (1997:1-2) mendefinisikan literasi digital sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Jadi bukan hanya mencakup kemampuan membaca, namun dibutuhkan pula suatu proses berpikir secara kritis untuk melakukan evaluasi terhadap informasi yang ditemukan melalui media digital.Â
Kemampuan literasi digital ini mencakup: kemampuan mengoperasikan komputer dan mengakses secara efektif, menguasai informasi dalam jumlah besar, mengevaluasi reliabilitas informasi, dan secara kritis menilai perangkat teknologi secara alami. Individu harus belajar, berkolaborasi, dan memecahkan masalah secara efektif pada lingkungan virtual, dan berkomunikasi secara efektif pada lingkungan sosial yang termediasi teknologi. Tak sebatas itu saja, literasi digital juga berkaitan dengan isu-isu dinamika informasi, properti dan kepemilikan intelektual, copyright, keaslian konten, dan plagiarisme (Eset-Alkalai, 2012:1). Â
Tujuan dari kemampuan literasi digital sendiri ialah memberikan bekal kepada generasi milenial berupa daya kontrol dalam memaknai pesan informasi atau berita yang berlalu-lalang di media digital. Keseluruhan pesan media memiliki makna yang terlihat, disertai dengan banyak makna yang tersirat di dalamnya.Â
Perbedaan tingkat literasi tentu saja akan berdampak pada perbedaan kontrol individu dalam proses interpretasi informasi yang ada. Selain itu himbauan kepada generasi milenial juga untuk meningkatkan kesadarannya dalam mencari informasi tidak hanya melalui media digital tetapi juga memanfaatkan media cetak seperti koran, jurnal maupun buku. Hal tersebut diupayakan guna mendapatkan informasi yang lebih valid, kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H