Sederhananya, saya itu seorang penakut. Salah satu hal yang saya takuti adalah air yang dalam. Jadi, sudah pasti jenis kegiatan yang menyangkut dengan air yang dalam itu nggak gue banget. Tentu saja termasuk snorkeling.
Saya pernah mendapat cerita dari adik saya perihal indahnya snorkeling di Pulau Pahawang. Salah juga pernah mendapat cerita dari teman saya tentang betapa menyenangkannya menyelam di Labuan Bajo. Lagi-lagi, karena air yang dalam itu nggak gue banget, maka membayangkannya sekalipun saya nggak pernah.
Saya tidak bilang bahwa saya takut air laut. Saya suka sekali dengan pantai. Hanya saja, nyemplung di laut itu benar-benar tidak pernah saya bayangkan. Muaranya sih jelas: saya nggak bisa berenang.
Saya bukan nggak berusaha. Dulu bahkan waktu masih di Palembang, saya pernah langganan fitness di hotel Aryaduta yang include kolam renang. Tapi ya tetap saja nggak bisa. Nah ini kebetulan di area rumah lagi ada kolam renang baru dan anak saya doyan banget main di kolam. Sehari bahkan bisa 3 kali ke kolam. Saya hanya ndomblong melihat para tetangga berceburan.
Hal yang kerap disebut fear of water sejatinya bukan hal yang aneh. Abigail Beall dalam artikelnya yang bercerita tentang prosesnya berubah dari fear of water menjadi penyelam handal menyebut bahwa lebih dari 14% orang dewasa di Inggris Raya mengalami kondisi tersebut. Jadi, ya orang seperti saya ini ada temannya.
Dengan bekal segala ketakutan itu, tentu menjadi absurd ketika saya mengikuti lomba menulis tentang wisata di Likupang yang jelas-jelas mengandalkan laut dan pengalaman di sekitar itu. Lebih-lebih saya menulis itu ketika sedang berdua saja di rumah dengan anak karena istri saya sedang dirawat di RS karena COVID-19. Dan semakin absurd ketika ternyata ada nama saya muncul di deretan pemenang...
...yang berarti saya bakal nyemplung di laut!
Singkat cerita di hari Senin, saya tiba di Manado dalam kondisi habis hujan. Hari Selasa, ikut international conference yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam kondisi di luar juga hujan. Sembari mengikuti event saya hanya bertanya dalam hati: "ini dua hari hujan, kalo besok hujan juga apa kabar?"
Well, nyatanya Gusti Allah berpihak pada para pejalan bermodal tulisan ini. Rabu pagi, kami sampai di Desa Serai, tidak jauh dari dermaga Bakamla, untuk beranjak ke Pulau Lihaga, salah satu destinasi di kawasan Likupang. Sampai dengan saya mengenakan sepatu katakpun, saya masih ragu sebenarnya bakal sanggup apa kagak.
Hanya saja, November silam ada training dari kantor perihal kekuatan pikiran. Di sisi lain, saya juga dibekali ilmu manajemen risiko oleh kantor. Dengan segala perlindungan yang ada, menurut saya kondisinya cukup aman. Pertama, saya nggak akan tenggelam karena saya pakai baju pelampung. Kedua, ini trip dari penyedia yang cukup kompeten. Ketiga, saya tetap penasaran soal cakepnya terumbu karang di Lihaga.
Begitulah. Saya turun dan mencoba mengambang sambil berpegangan pada alat yang disediakan. Sesekali saya melihat ke bawah dan ya memang cantik nian pemandangan di bawah sana. Ada bintang laut warna biru, ada sejumlah ikan nemo, pun ada terumbu karang yang semoga akan tetap damai di tempatnya.
Mudah? Jelas nggak. Beberapa kali arus menggoyang sehingga posisi saya mau kebalik alias mau ngambang terlentang. Beberapa kali pula berasa mau kram. Cuma ya sudahlah, kepalang tanggung, dipikir bisa saja semoga nanti tetap bisa. Dan pada akhirnya, saya berada di Hotel Paradise Golf and Resort di Likupang. Masih suka merasa digoyang-goyang seperti pengalaman beberapa jam yang lalu. Dan setidaknya saya cukup bangga pada upaya saya mengalahkan ketakutan itu.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H