Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Quagliarella, The Untold Truth": Tentang Remuknya Mimpi Masa Kecil Sang Neapolitan

20 November 2021   18:31 Diperbarui: 1 Desember 2021   18:00 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fabio Quagliarella (Sumber: Sky Sport)

Sosok Fabio Quagliarella sejatinya adalah bintang. Di usia 38 tahun, dia masih aktif bermain. Musim ini, dari 11 penampilan, sudah ada 1 gol dan 2 assist yang disumbangkan. Di 8 laga pertama, stiker didikan akademi Torino ini bahkan masih turun sebagai starter sekaligus kapten. 

Belakangan, pada laga melawan Spezia dan Atalanta dia turun di babak kedua. Pada laga terakhir sebelum jeda internasional, dia ada di bench dan tidak diturunkan sama sekali. Sampdoria pun tidak sedang dalam posisi baik karena tengah berada di zona degradasi, tepatnya peringkat 18.

Tadi pagi, sambil menunaikan pekerjaan bapak rumah tangga sejati alias nyetrika, saya menyempatkan diri menonton film dokumenter tentang eks striker Juventus ini, yang baru dirilis bulan lalu. Ya, masak langganan Mola hampir setengah juta setahun hanya dipakai weekend doang? 

Lumayan, kemarin juga sempat nonton film dokumenter tentang Andres Iniesta juga pada jaringan yang sama. Dan bagi saya, kisah soal Quagliarella ini cukup menarik karena mengungkap sesuatu yang sebenarnya sudah pernah terbuka ke publik pada periode 2017 silam dengan metode film dokumenter. 

Kala itu, B/R bahkan merilis 2 laporan yang berkesinambungan dan bahkan sebenarnya lebih lengkap daripada filmnya mengingat B/R juga berhasil menemui sosok penting yang boleh dibilang jadi sentral film dokumenter ini, seorang oknum polisi bernama Raffaele Piccolo.

Melansir Kompas.com, film berdurasi 90 menit itu digarap oleh sutradara Giuseppe Garau dan penulis naskah bernama Goffredo D'Onofrio.

Disebutkan pula bahwa film dokumenter tersebut menandai kehadiran Mola di negara-negara lain, yaitu Malaysia, Singapura, Italia, dan Inggris. 

Dan sejatinya, film ini bahkan selesai lebih dahulu dibandingkan setrikaan saya. Bisa jadi karena setrikaannya yang kebanyakan atau sayanya yang terlalu terpana dengan jalan cerita film ini.

Jika pernah membaca laporan dari B/R tahun 2017, jelas tidak ada info yang baru. Bagaimanapun, kisahnya kalau dari versi Fabio, keluarga, dan teman-temannya tentu pasti demikian.

Singkatnya, Quagliarella adalah seorang bocah Napoli alias Neapolitan yang tumbuh besar dalam kejayaan Napoli bersama Diego Armando Maradona. Sudah tentu, mimpinya adalah menjadi kapten Napoli layaknya sang idola. 

Sayangnya, jalan nasib membawa awal karir Fabio Quagliarella ke Torino. Di Torino, pada usia 17 tahun, Fabio memperoleh debutnya. Walau demikian, dia benar-benar tumbuh dari bawah. 

Dia sempat main di Serie C1 bersama Chieti. Sebuah kompetisi yang disebutnya begitu ganas karena perjalanan tandang yang panjang dengan bis dan betapa kerasnya fans.

Kisahnya identik dengan yang pernah disampaikan oleh Maurizio Sarri kala membandingkan Derby Roma dengan pertandingan sejenis di level Serie C1.

Pada musim 2005/2006, Quagliarella memperkuat Ascoli. Itu adalah musim perdananya main rutin di Serie A. Sesudah itu, dirinya banyak berpindah klub.

Lepas dari Ascoli, Quagliarella pindah ke Sampdoria dan kemudian Udinese. Dia satu angkatan dengan Simone Pepe dan Alexis Sanchez. 

Di film, Pepe mengisahkan cerita menarik karena dari banyak orang Italia di angkatan itu, justru Alexis yang bisa berbahasa Italia dengan baik dan benar sehingga kalau ada hubungan dengan pers, Alexis yang disuruh maju. Selebihnya, mereka yang orang Italia justru menggunakan bahasa dan aksen dari tempatnya masing-masing.

Setelah 3 musim beruntun mencetak lebih dari 10 gol, dia akhirnya pindah ke Napoli. Ini adalah kesan baik, seorang bocah Napoli kembali ke rumah sesudah berkelana. Sayangnya, di Napoli pula sesuatu terjadi. 

Beberapa waktu sebelumnya, sebenarnya Fabio mulai menerima teror baik surat maupun pesan singkat. Akan tetapi, kepindahannya ke Napoli membuat semuanya bertambah dan cukup membebani dirinya. 

Masalahnya, keluarganya juga jadi korban, termasuk sahabatnya. Ketika pertama kali mendapat teror, Fabio dan sahabatnya dikenalkan dengan seorang polisi setempat bernama Rafaelle Piccolo. Sosok inilah yang ternyata menjadi kunci dari alur yang dibangun di film.

Di Napoli, sejatinya capaian Fabio tidaklah buruk. Dia tetap bikin gol 2 digit dari 34 laga, berikut juga 6 assist. Sayangnya, ketika pergantian musim, sang Presiden Napoli Aurelio De Laurentiis dikabarkan tidak lagi berkenan dengan kehadiran Fabio. Boleh jadi, sang Presiden Napoli juga mendengar berbagai rumor tidak benar tentang Fabio, mulai dari pedofil hingga keterkaitan dengan mafia. 

Yang bikin runyam kemudian adalah dia dipinjamkan ke Juventus yang jelas-jelas rival. Publik Napoli berbalik membenci Fabio dan dampaknya sangat panjang, bahkan sampai ke nasib keponakan-keponakannya di sekolah. 

Ya namanya orang Napoli sekolahnya di Napoli juga, kan? Padahal, Fabio bilang di film bahwa bukan dia yang ingin pindah tapi klub yang memutuskan itu. Fans sudah punya pendapat dan menurut Fabio apapun yang dia akan katakan juga tidaklah berguna.

Di Juve, Fabio jelas bukan pilihan utama. Waktu bermainnya terpangkas, demikian pula golnya. Walau begitu, dia justru memperoleh gelar Scudetto bersama Si Nyonya Besar yang lagi berupaya bangkit bersama Antonio Conte. 

Setidaknya, dia punya kelengkapan capaian sebagai calon legenda. Dia sejatinya punya potensi lebih besar dari itu. Sayangnya, teror yang melandanya turut membuat redup potensinya. Bagaimanapun, dia pasti kepikiran, apalagi terornya turut melanda keluarga dan sahabatnya.

Teror ini mulai terungkap sekitar tahun 2017. Fabio sudah 34 tahun ketika itu. Boleh dibilang dia seharusnya sudah habis. Faktanya, begitu teror itu terbongkar, pada musim 2018/2019, Fabio Quagliarella justru menjadi pencetak gol terbanyak di Serie A. Padahal, di kompetisi yang sama ada nama Cristiano Ronaldo yang baru pindah dari Real Madrid ke Italia. Menjadi top skorer pada usia 36 tahun merupakan capaian yang mengagumkan bagi bintang yang sebenarnya bisa lebih besar.

Kisah terkuaknya dalang teror justru membuat film ini jadi ada rasa-rasa CSI-nya, walaupun digarap sebagai film dokumenter. Apalagi, pelakunya kemudian diketahui sebagai oknum aparat. 

Satu musim di Napoli yang seharusnya jadi mimpi indah itu kemudian justru membalik kehidupan calon bintang besar menjadi nyaris legenda saja, gara-gara kelakuan oknum. Parah betul memang oknum yang satu ini.

Pecinta Serie A dan pecinta sepakbola pada umumnya sangat saya sarankan untuk menyaksikan film ini. Bahwa di balik gol-gol ajaib yang banyak lahir dari kaki dan kepalanya, sosok Fabio Quagliarella ternyata menyimpan pergulatan batin yang luar biasa akibat ulah seorang oknum aparat. 

Ciao!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun