Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Benarkah BPOM Izinkan Ivermectin Jadi Obat Terapi Covid-19?

15 Juli 2021   22:30 Diperbarui: 15 Juli 2021   23:07 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah BPOM Izinkan Ivermectin Jadi Obat Terapi COVID-19? - Urusan obat yang tersusun dari 47 C, 72 H, dan 14 O bernama ivermectin benar-benar belum kelar menjadi pembahasan di negeri ini. Apalagi jika kemudian ditunjang dengan pemberitaan yang kadang-kadang menyebabkan diskursus menjadi semakin panjang dan keributan di akar rumput, ya setidaknya di kolom komentar berita hingga di media sosial, nggak kelar-kelar. Sedih.

Salah satu judul berita yang bikin saya kaget siang tadi adalah "BPOM Izinkan Ivermectin Jadi Obat Terapi COVID-19". Kompas.com membuat judul "Surat Edaran BPOM Soal Penggunaan Ivermectin yang Dibantah Ketua BPOM". Artikel tersebut diterbitkan pada 15 Juli 2021 pukul 11.00 dan kemudian diperbaiki pada pukul 14.50.

Surat Edaran dan Konteksnya  

Asal muasal pemberitaan ini adalah Surat Edaran Nomor PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Distribusi Obat Dengan Persetujuan Penggunaan Daruat (Emergency Use Authorization). Surat ini bertujuan untuk memperjelas penerapan pelaksanaan EUA dan juga menjadi bentuk upaya memonitor potensi kelangkaan obat yang memang tengah terjadi. Hal itu tentu relevan sebagai bagian upaya pemerintah menjaga akses obat berikut harganya yang tengah menjadi fokus hari-hari ini. Termasuk juga teman-teman saya di apotek yang beberapa kali didatangi aparat penegak hukum untuk memastikan ketersediaan barang berikut harganya.

Suratnya ada 4 halaman dengan penjelasan yang cukup detail, setidaknya menurut saya. Persoalannya kemudian yang diangkut dan dibawakan ke publik adalah sebatas judul pada halaman 1 dan daftar 8 obat pada halaman 4. Sehingga seolah-olah ke-8 obat tersebut sudah dapat EUA dan sudah diotorisasi untuk COVID-19. Padahal,  dengan pengecekan mandiri kita sebenarnya dapat melihat bahwa obat-obat yang sudah mendapat EUA itu hanya Remdesivir dan Favipiravir pada bulan September 2020.

Padahal lagi kalau mau cek suratnya, pada nomor 6 disebut bahwa "Sehubungan dengan terjadinya kelangkaan obat mendukung terapi COVID-19, termasuk obat yang diberikan EUA....", jadi sebenarnya lagi kalau mau mencerna dengan baik maka para pembaca surat dapat membagi daftar 8 obat di halaman 4 itu menjadi 2 bagian besar yakni remdesivir dan favipiravir sebagai obat yang sudah dapat EUA, plus oseltamivir, immunoglobulin, ivermectin, tocilizumab, azithromycin, dan dexametason (tunggal) sebagai obat yang mendukung terapi COVID-19 tapi sampai sejauh ini tidak ada EUA yang secara spesifik menyatakan bahwa obat-obatan tersebut diotorisasi sebagai obat COVID-19. 

Apalagi kemudian per 14 Juli 2021, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), serta  Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan perihal revisi protokol tatalaksana COVID-19 yang antara lain mengatur kembali ketentuan penggunaan oseltamivir dan azithromycin, dua jenis obat yang muncul pada daftar.

Pada dasarnya urusan ivermectin masih tidak berubah dari informasi awal Juli 2021 bahwa tengah dilakukan uji klinik pada 8 rumah sakit, penggunaan di luar skema uji klinik dapat dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosa dokter, plus jika memang diberikan pada pasien oleh dokter maka penggunaannya sesuai protokol uji klinik yang disetujui.

Dan sebenarnya pula pemberitaan Kompas sudah menyebut soal Expanded Access. Gambaran umum Expanded Access dapat dibaca di situs web FDA berikut ini, tapi intinya sih Expanded Access ditujukan untuk pasien maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki akses pada uji klinik obat yang belum disetujui untuk indikasi penyakit yang diajukan. Jadi, perlu ditekankan bahwa jika nomor izin edar (dalam kondisi normal) atau EUA (dalam kondisi darurat) diberikan kepada industri farmasi, maka Expanded Access diberikan pada institusi maupun fasilitas pelayanan kesehatan.

EUA dan Administrasi Publik 

Sebagai apoteker yang tengah mendalami administrasi publik, saya sebenarnya baru ngeh kalau urusan obat dan reformasi birokrasi itu bukan urusan sembarangan. Sederhananya, kalau reformasi birokrasi dipandang seperti pelayanan KTP, maka urusan obat tidaklah bisa disederhanakan seperti itu. Ingat, kalau pelayanan KTP itu adalah soal negara sebagai pemberi layanan melalui Dinas Dukcapil dan penduduk sebagai penerima layanan. Nah, dalam proses pendaftaran obat yang normal sekalipun, unsurnya adalah regulator dalam hal ini FDA atau BPOM sebagai pemberi layanan dan industri farmasi sebagai pendaftar sekaligus penerima layanan. Cukup? Tentu saja belum. Pada titik ini, ada elemen masyarakat. Ingat, obat yang diajukan oleh industri farmasi itu akan dikonsumsi masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab menjamin masyarakat mengkonsumsi obat yang memenuhi tiga value utama: mutu, keamanan, dan khasiat.

Makanya saya termasuk kurang setuju untuk menyebut bahwa proses registrasi obat itu sekadar cepat saja, padahal yang lebih penting lagi adalah tepat dan benar. Artinya, limit percepatan pada penerbitan EUA dan sejenisnya tidaklah sama dengan mengubah pola penyaluran bansos supaya lebih akuntabel misalnya. Bagaimanapun, ada faktor keamanan masyarakat yang harus sangat dipertimbangkan. Berbagai jurnal juga sudah menyebut bahwa administrative reform untuk institusi seperti FDA memiliki banyak keterbatasan walaupun tetap diupayakan sejumlah percepatan-percepatan. Bahkan, kehadiran skema seperti EUA di masa pandemi sebenarnya juga merupakan upaya percepatan. Di zaman dahulu kala, tidak ada ceritanya persetujuan obat dilakukan dalam keadaan darurat dengan berbagai proses dilakukan secara paralel. 

Jadi, sebenarnya EUA saja sudah termasuk reformasi birokrasi, Expanded Access pun demikian. Hanya, lagi-lagi, mau secepat apapun proses yang dibutuhkan, value utama tetap harus dipertimbangkan secara lengkap tanpa saling menihilkan satu sama lain. Ada obat yang bermutu saja tapi keamanan dan khasiatnya dipertanyakan, tidak boleh. Ada obat yang sudah terbukti aman tapi khasiatnya masih belum dapat dikonfirmasi, ya belum cocok juga. Ada obat yang berkhasiat tapi tidak aman, tentu terang benderang tidak diperkenankan. 

Itu pula sebabnya, kalau menurut jurnal dari Dharma (2021) paradigma administrasi publik yang relevan untuk penerbitan EUA itu adalah New Public Service, bukan New Public Management. Alasan utama, kembali lagi, karena ada faktor citizen yang sangat penting karena sebenarnya sesudah urusan industri farmasi dan regulator selesai itu, masyarakatlah yang akan menikmati faedahnya sekaligus merasakan dampak paling duluan kalau ada apa-apa. Kebetulan pula, pada road map Reformasi Birokrasi 2020-2024 disebut dengan terang benderang bahwa secara umum, paradigma ilmu administrasi di Indonesia mengarah pada New Public Management terkait upaya menciptakan efektivitas, efisiensi, dan pemerintahan yang berorientasi hasil dan New Public Service terkait keterlibatan aktor lain di luar pemerintah dalam kedudukan yang sama seperti masyarakat sipil, dunia usaha, dan media massa. 

Tolonglah, Jangan Lepaskan Konteks

Kembali ke topik, pada dasarnya tidak ada perbantahan karena memang tidak ada ketetapan yang berubah. Saya sih cukup menyayangkan ketika ada orang-orang yang kemudian sebatas menyambungkan judul di halaman 1 dan daftar obat di halaman 4 tanpa melihat konteks yang sebenarnya terletak hanya 3 sentimeter di atas daftar obat yang dipolemikkan. Jadi ingat podcast Om Deddy dengan Coki dan Habib Jafar, bahwa KONTEKS itu merupakan hal yang sangat penting pada informasi maupun perkataan zaman sekarang.

Pada saat mencari oksigen adalah hal yang sulit, apalagi ruang Intensive Care Unit, maka sesungguhnya informasi yang tepat dapat menjadi setetes air di tengah kekeringan. Yuk, marilah kita dari elemen masyarakat, termasuk juga pemerintah dan terutama media massa bersama-sama mencari dan mewartakan informasi secara tepat dengan tidak mengesampingkan konteks. Sungguh, pandemi saja sudah sulit, apalagi jika kita melakoninya dengan infodemi. Makin berlipatlah kesulitannya karena sejumlah riset yang dirangkum oleh Dharma & Kasim (2021) menyebut bahwa infodemi dapat turut meningkatkan penyebaran pandemi.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun