Setelah meraih 1,7 juta penonton melalui Si Doel The Movie, maka kisah cinta segitiga yang seumuran dengan Mo Salah antara Kasdullah, Sarah Van Heus, dan Zaenab akhirnya disudahi pada 2019. Ini yang mengikuti kisahnya saja sudah sampai beranak cucu, kisah cintanya malah baru kelar.
Film Akhir Kisah Cinta Si Doel ini bahkan tidak mengadakan screening. Bukan apa-apa, inti dari kisah ini sebenarnya terlalu sederhana: Si Doel pilih Sarah atau Zaenab? Jadi, spoiler sangat mempengaruhi keputusan orang untuk beli tiket atau tidak.Â
Tadi pagi di FB, seorang teman mengatakan bahwa dirinya tidak jadi menonton film ini karena mengetahui pilihan akhir si Doel, sementara dirinya menyebut diri sebagai tim pilihan lain yang dimiliki si Doel. Itulah sebabnya tulisan ini juga tidak akan menyebarkan spoiler itu. Hehe.
Ketika kisah cinta si Doel ini tampak tidak logis dalam film pertama, sesungguhnya ada banyak hal yang dilengkapi pada film kedua sehingga ceritanya menjadi utuh.Â
Selain itu, film ini juga ramah terhadap orang yang baru nonton karena muatan penting dari film sebelumnya ditampilkan secara apik untuk menjadi penyambung cerita.
Porsi Atun dan Mandra pada film Akhir Kisah Cinta Si Doel untuk berkomedi tidaklah banyak. Akan tetapi, bagi saya masih cukup pas untuk menjadi penengah ketika kita lagi gemas-gemasnya dengan Si Doel yang sebagaimaan kita ketahui, begitu pendiam.
Entah karena durasi yang 'hanya' 93 menit atau memang pola lain penceritaan, tapi saya merasa kita langsung dipompakan konflik pada awal film. Boleh jadi, posisi film ini sebagai sambungan film yang belum lama tayang plus sudah ada cuplikan film sebelumnya juga membantu penonton untuk langsung masuk ke konflik tanpa harus kebingungan.
Karena itu pula, agak sulit mereview film ini dari pendekatan drama tiga babak, karena babak awalnya justru terasa ada di film sebelumnya. Walau demikian, penceritaan berjalan dengan cukup maksimal hingga akhir. Diperkuat dengan soundtrack 'Hanya Rindu' dari Andmesh yang dipotong pada bagian yang sesuai, akhir film ini bagi saya cukup memadai untuk klimaks penantian 27 tahun.
Kalaulah ada beberapa kelemahan film ini, hal itu terkait dengan beberapa detail.
Misalnya, di awal ada tayangan budaya Betawi di Monas dengan tahun 2019. Kemudian pada suatu adegan, kalender tampak membuka pada  Juli-Agustus-September 2018. Plus, sepeda motor yang dibawa Mandra, platnya 05.18 alias mau ikut tanggalan 2019 atau 2018 sama-sama mati pajak. Hehe. Nggak baik aja untuk edukasi taat pajak.
Kemudian, rumah Sarah tampak ada di sebuah bukit. Sesuatu yang rasanya tidak ada di Jakarta. Pertemuan antara Sarah dan Zaenab terjadi di sebuah tempat dengan kursi-kursi dan pohon-pohon tinggi, yang juga rasanya bukan di Jakarta, padahal itu posisinya Sarah sudah akan menuju ke bandara dan posisi awal sebelum mereka berdua bersua adalah Sarah di Kuningan dan Zaenab di rumah. Cocoknya sih bertemunya di Blok M. Heuheu.