Setelah merilis Reformasi Birokrasi pada era SBY, negeri ini punya satu jenis reformasi lain yang ternyata tidak kalah pentingnya. Perkara dwelling time, berikut dua paket kebijakan ekonomi yang dirilis oleh Jokowi sebagai Presiden telah membuka satu tabir lain. Indonesia butuh Reformasi Regulasi. Namanya juga negara hukum, sudah pasti tidak lepas dari pembentukan regulasi. Penyelenggara negara--dalam hal ini Pemerintah--sudah menerbitkan cukup (kalau bisa dibilang, sih, sangat) banyak peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri. Itu baru tingkat pusat saja, lho. Sebagai gambaran, dalam periode tahun 2000 hingga 2015, Pemerintah telah menerbitkan 12.471 regulasi. Dari total jumlah tersebut, regulasi yang paling banyak terbit adalah peraturan menteri atau yang setara dengan jumlah 8.331 regulasi.
Daerah? Apalagi itu. Otonomi daerah memang memberikan cukup keleluasaan bagi daerah untuk mengatur diri. Dampaknya? Dalam periode yang sama, terdapat 3.177 Perda di tingkat propinsi dan 25.575 Perda tingkat Kabupaten/Kota. Hal inilah yang dipaparkan dalam mengawali Peluncuran Buku Strategi Nasional Reformasi Regulasi yang berlangsung di Ruang Serbaguna Bappenas, 6 Oktober 2015.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dr. Sofyan A. Djalil, SH., MA., MALD mengawali sambutannya dengan sebuah film Django Unchained. Disebutkan bahwa logika pikir yang digunakan adalah negeri ini dirantai oleh terlalu banyak regulasi. Waktu yang dimiliki pengusaha pada akhirnya habis untuk melawan regulasi daripada meningkatkan ekspor.
Regulasi menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas tidak netral. Selain itu, semakin banyak regulasi, semakin tinggi pula cost yang dikeluarkan. Ada pula masalah yang terjadi dalam konteks guru Bahasa Inggris yang hanya boleh dari 5-6 negara untuk native speaker. Hal itu menyebabkan masalah sehingga lembaga pendidikan Bahasa Inggris kekurangan sumber daya pengajar. Akibatnya daya saing kita menjadi tidak memadai untuk pasar global. Pada akhirnya, regulasi-regulasi yang mengikat membuat pengusaha lebih memilih untuk impor alih-alih membuat produksi karena waktunya habis untuk melawan birokrasi.
Berangkat dari kondisi regulasi saat ini, tentu saja perlu jalan keluar sehingga pembangunan di Indonesia tidak mengalami stagnasi. Lagipula, tidak semua masalah bisa selesai dengan adanya regulasi. Bahkan, mengutip pernyataan Wakil Presiden, kalau regulasi membuat suatu negara maju, Indonesia pasti sudah menjadi negara yang sangat maju karena di Indonesia ada begitu banyak regulasi.
[caption caption="sumber: dapp.bappenas.go.id"][/caption]
Acara ini diikuti dengan diskusi panel yang melibatkan APINDO, Badan Legislasi DPR, akademisi dari Pusat Kajian Regulasi, dan KPPOD yang mewakili suara daerah. Bapak Agung dari APINDO mencermati disharmoni peraturan--utamanya Surat Edaran--yang menjadi masalah di lapangan. Namun di dalam buku Reformasi Regulasi ini, peran SE tidak terlalu dibahas. Bapak Supancana sebagai akademisi dari Unika Atma Jaya memberikan contoh construction permit di Malaysia yang berhasil menderegulasi sampai jauh dari 1200 lisence hingga 9 saja, sehingga ease of doing business di Malaysia juga jadi terdongrak. Dari KPPOD, disoroti peran pemerintah yang masih menjadikan masyarakat sebagai obyek yang perlu diatur dan perijinan yang hukumnya segi satu. Di-highlight pula bahwa Reformasi Regulasi perlu satu lembaga koordinasi khusus laiknya Reformasi Birokrasi. KPPOD sendiri memberikan contoh re-grouping peraturan yang dilakukan di Jeneponto, Baru, dan Kediri.
Bapak Firman Subagyo--pemain pengganti dari Baleg--menyebut beberapa hal seperti misalnya anggota dewan dapat menggunakan hak mengusulkan RUU. Hal ini dapat menghambat Prolegnas secara umum. Demikian juga ketika Prolegnas berjalan, RUU sudah masuk, tapi Naskah Akademiknya belum selesai. Lagipula, menurut beliau, DPR bukanlah pabrik undang-undang. Sejalan mungkin dengan output DPR yang sekarang tampak.
Menarik disimak adalah di awal acara disebutkan bahwa peserta diharapkan tidak memasang nada dering HP. Tapi pada kenyataannya? Heuheu. Sepanjang acara, suara-suara pesan WhatsApp dari HP Samsung dan Oppo terdengar. Suara notifikasi LINE juga kedengeran. Bahkan sempat terdengar suara bayi--semacam dari video. Bahkan kerennya, ada yang sambil menunggu acara dimulai, sudah bikin laporan kegiatan. Itu sungguh perwakilan Kementerian yang sangat cepat tanggap dalam melakoni perintah dari atasannya, termasuk juga mencatat Dubes siapa saja yang datang. Mungkin buat laporan. Nggak apa-apa. Adapun satu-satunya yang ikut berdiskusi adalah perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Ibu Trukan Sri Bahukeling. Maklum, sudah mepet jam makan siang. Kata Pak Moderator, terancam melanggar HAM.
Diharapkan program Reformasi Regulasi ini bukan sekadar program ada-ada saja, namun berkelanjutan sejalan dengan paket kebijakan ekonomi Jokowi yang sedang berjalan. Namun, tidak melepaskan Indonesia sebagai negara yang tidak melindungi warga negaranya dengan regulasi sehingga malah pekerja asing dapat tempat untuk kerja di Indonesia, sementara orang lokalnya nganggur.
Salam Reformasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H