Menjelang sore selepas Merak, keluarga saya diturunkan di tepi jalan, di depan sebuah masjid.
"Kok turun disini, Pak?" tanya saya.
"Nanti ganti bus."
Bus itu, walaupun ekonomi, tapi cukuplah untuk dibilang nyaman. Setidaknya saya bisa duduk manis.
Sembari menanti bus, saya dan adik-adik disuruh ganti baju, di pinggir jalan/di teras masjid. Ehm, saya sudah 10 tahun kala itu, dan sudah mulai punya rasa malu pastinya. Ini bukan kemauan saya, tapi mana berani melawan kehendak orang tua, apalagi di tempat umum macam itu.
Ketika gelap menjelang, akhirnya kami naik ke sebuah bus. Berharap ini indah? Pasti. Tapi bagi saya, inilah bus paling tidak manusiawi sepanjang hayat saya naik bus sampai saat ini.
Bus itu kala tidak salah jurusan Lampung-Jogja, entah merk apa, dan yang pasti ekonomi. Bus operan itu sebenarnya sudah sangat penuh sesak dengan manusia, namun masih tetap memasukkan rombongan 2 orang dewasa dan 4 anak labil ke dalamnya. Maka keluarga bahagia kami terpecah. Saya dan Bapak di belakang, sisanya di depan. Di belakang inipun ya bukan di kursi lho.
Pernah lihat undak-undakan alias tangga di pintu belakang bus menuju kursi di bagian atas? Ya, persis. Disitulah saya dan Bapak duduk. Jadilah, ketika bus masuk Jakarta, saya hanya melihat gedung-gedung tinggi sambil duduk di lantai bus, sambil merasakan getaran roda bus yang penuh sesak dengan orang. Dan yang pasti, saya nggak bisa tidur.
Begitulah, sampai pagi ketika kemudian memasuki daerah Brebes, banyak penumpang yang turun dan saya bisa bersatu dengan keluarga saya yang lain di bagian depan bus. Bau badan sudah semacam ikan pepes, perpaduan keringat dan asap rokok (ingat, ini bus ekonomi dan orang bebas merokok dimanapun). Entah jam berapa, yang jelas sudah panas, kami sampai di Jogja. Bapak memilih turun segera dan mencari taksi untuk menuju rumah Mbah di utara Jogja. Bentuk kami? Antah berantah. Satu hal yang disyukuri, kami selamat sampai tujuan.
Berangkat hari Minggu siang, Senin siang saya merasakan panasnya Bakauheni, dan Selasa siang menikmati Jogja. Sebuah perjalanan yang panjang sekali, penuh derita pulak. Sebuah pelajaran bagus untuk bocah usia 10 tahun. Dan kemarin ketika saya mudik, lantas cerita-cerita dengan orang tua soal pengalaman itu, Bapak dan Mamak hanya bilang, "Yah, namanya hidup. Pengalaman itu perlu kan?"
Ya sudah, pengalaman biarlah jadi pengalaman. Saya sih nggak lagi-lagi begitu. Kapok pakai banget. Tapi ada daya, setelah edisi 1997 itu, saya masih punya cerita naik bus lagi tahun 1999 (Bukittinggi-Jakarta-Jogja-Bandung-Bukittinggi), 2001 (Bukittinggi-Jakarta-Cirebon-Jogja), 2003 (Jogja-Bukittinggi-Jogja), 2004 (Jogja-Bukittinggi). Semua punya kisahnya masing-masing, kalau sempat saya tuliskan deh disini :)
Salam!