Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Seorang Pria Meregang Nyawa di Depan Mata Saya

22 November 2011   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otak saya berpikir, ini kecelakaan sudah dari tadi saya belum melewati perempatan, mestinya orang ini sudah diangkut dari tadi, kenapa sampai saya sudah mengamankan sandal dll dari jalanan, orang ini masih ada?

Akhirnya ada seorang pria bersiap di bagian kaki. Dia memanggil yang lain. Naluri apoteker saya baru jalan. HEY! Meski kamu itu apoteker di industri, bukan berarti sumpahmu tidak berlaku di jalanan macam ini kan?

Dua orang lain datang, satu mengambil kaki kanan, satu mengambil tubuh bagian kiri. Jadilah saya mendapat jatah tubuh bagian kanan. Pria itu KEJANG, mirip orang sedang epilepsi. Kejang itulah yang menyadarkanku bahwa ini parah, parah sekali. Dan benar, ketika tubuhnya diangkat, tampak genangan darah segar yang berasal dari belakang kepala. Oh, ini sungguh-sungguh parah!

Posisi mengangkat sudah nggak benar dari awal, tampaknya yang lain menghindari darah di kepala itu, sementara kepalanya menggantung. Hufft... dengan keberanian yang tersisa, jadilah tangan saya menopang di bagian leher. Dan sejenak ketika naik ke trotoar, sandal saya mulai terasa aneh. Yap! Sandal berikut kaki saya merah-merah oleh tetesan darah pria itu.

Pria itu berhenti kejang ketika proses mengangkat baru sampai pintu rumah sakit, dari dadanya tidak tampak ada gerakan nafas. Waduh, bagaimana ini? Dari kejauhan satpam rumah sakit sudah membawakan tempat. Ketika pria itu sudah diletakkan pada tempatnya dan dibawa, saya segera menjauh. Dugaan saya pria itu masih hidup karena dalam kejangnya yang terhenti, posisi tangannya masih tegang, artinya MUNGKIN masih ada aktivitas pemompaan darah disana. Satu yang pasti dia sudah kehilangan banyak darah di kepala.

Dan sungguh saya perlu minta maaf soal ini. Saya memang seharusnya menuruti perintah kitab suci untuk menolong orang semacam ini, tanpa peduli kenal atau tidak. TAPI saya pernah punya pengalaman buruk ketika yang DEKAT atau yang ADA DI TEMPAT adalah yang TANGGUNG JAWAB. Saya jauh dari kecelakaan itu dan saya hanya hendak membantu, saya sungguh trauma kalau harus disuruh TANGGUNG JAWAB. Lha wong baru saya selesai sudah ditanyain, "kamu temannya ya?"

Ini hal baru dalam hidup saya yang mungkin bukan apa-apanya profesi lain, macam perawat atau tim PMI. Dan kejadian barusan juga menunjukkan saya bukanlah orang dengan profesi kesehatan yang baik. Di saat saya menolong, saya nggak tuntas. Tapi setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya bagi disini, untuk rekan Kompasianer sekalian:
1. Berhati-hati dalam berkendara itu wajib, namun kadang ketidakhati-hatian orang lain juga bisa membawa bencana buat kita sendiri. Kalau melihat kronologis kecelakaannya, kira-kira demikian. So, kita harus double hati-hati.
2. Tolonglah orang yang LEBIH PERLU. Orang-orang tadi lebih memilih mengamankan yang bebas darah dan yang wanita (kebanyakan orang disana tadi adalah pria). Padahal yang jauh lebih perlu adalah pria itu. Saya datang jauh belakangan dan geleng-geleng, ngapain aja orang-orang disini dari tadi? Ketika saya selesai dari rumah sakit, orang-orang yang diam disana tadi dengan fasih bercerita. Apa artinya? DIA ADA DISANA DARI TADI.
3. Hidup itu sangat berharga. SANGAT-SANGAT BERHARGA. Kesimpulan maha besar dari apa yang saya lihat tadi.

Sudah dulu ya rekan kompasianer sekalian. Saya masih bingung apakah tangan saya ini lemas karena pegal, karena besok mau audit, atau karena saya masih shock dengan yang saya lihat. Doakan saya bisa tidur dengan nyenyak. Maklum, saya melankolis, yang menyimpan sangat rapi memori, apalagi yang semacam ini. Hufffftt....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun