Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cacing Tanah

23 Juni 2011   02:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 5458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cacing tanah. Apa yang akan anda lakukan jika melihat benda coklat ini bergerak keluar dari dalam tanah ketika anda menemukannya saat berkebun? Ada banyak opsi. Ada yang segera secara refleks lari, ada yang menimbun kembali, ada yang dengan teganya membelah cacing itu dengan cangkul pilihan ada pada anda masing-masing. Hehehe..

Cacing bagi kebanyakan orang memang menjijikkan. Itu kan bagi kebanyakan, tapi tidak bagi petani. Cacing mungkin sama berharganya dengan hujan atau pupuk karena ia mengembalikan nitrogen ke bumi. Bahkan pada zaman Cleopatra, bangsa Mesir menganggap cacing tanah sebagai makhluk suci. Sedangkan di Yunani, Socrates menyebutnya sebagai “ususnya tanah”.

Makhluk ini dipercaya muncul sekitar 120 juta tahun silam. Cacing sendiri sangat unik karena tidak punya kaki, tidak punya otak dan paru-paru, tapi malah punya 5 jantung. Cacing juga termasuk satu dari sedikit jenis binatang yang hermaprodit.

Mungkin bagi kebanyakan orang, cacing hanya berguna sebagai umpan dalam memancing atau sekadar menyuburkan tanah, namun ternyata cacing memiliki banyak kegunaan. Cacing yang terlihat menjijikkan itu ternyata berpotensi besar sebagai bahan makanan. Cacing tanah mengandung banyak protein, yang sangat diperlukan oleh tubuh. Beberapa sumber menyebut cara pengolahan cacing adalah dengan memasukkan bersama tepung maizena selama 48 jam, atau menyimpan di dalam freeze. Untuk menghilangkan lendirnya, cacing direbus dengan air mendidih. Menurut para ahli, cacing Lumbricus Rubellus mengandung kadar protein sangat tinggi sekitar 76%. Kadar ini bahkan lebih tinggi dibandingkan daging mamalia (65%) atau ikan (50%). Tapi ya tentu jangan dilihat dari sisi besarnya, kalah jauh.. hehe…

Suku Maori (New Zealand), Aborigin (Australia), Aztec, dan suku-suku primitif lain biasa memanggang cacing di atas api unggun, atau di bawah panas matahari sebelum menumbuknya sampai halus untuk dimakan dengan roti. Wewwww….

Di dalam buku The Worm Book (1998), cacing tanah disajikan sebagai menu yang lebih menarik, diantaranya : Oatmeal Earthworm-Raisin Muffins (muffin gandum rasa cacing tanah dengan kismis), Earthworm Meatloaf, & Caramel Earthworm Brownies. Di buku lain, Urban Wilderness: A Guidebook to Resourceful City Living (1979), Christopher Nyerges, sang pengarang, menyarankan untuk membalut cacing tanah dengan tepung, goreng dengan mentega sampai warnanya kecoklatan, campur dengan tumisan bawang dan jamur, kemudian oleskan sour cream. Hmmm… seolah-olah enak..

Negeri Perancis, yang terkenal pakar mengolah bekicot menjadi makanan yang lezat, ternyata juga ahli memasak cacing tanah. Souffle Ver de Terre nama menunya. Ver de Terre artinya cacing tanah dalam bahasa Perancis.

Cacing tanah dapat mengobati demam, tifus menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan darah tinggi, meningkatkan nafsu makan, mengurangi pegal-pegal akibat keletihan maupun akibat rheumatik, menurunkan kadar gula darah penderita diabetes, sampai gangguan pasca stroke. Prospeknya sebagai bahan obat sangat menjanjikan.

Di Cina, Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara, cacing tanah terutama dari jenis Lumbricus, biasa digunakan sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu. Cacing tanah telah dicantumkan di dalam “Ben Cao Gang Mu”, buku farmakope pengobatan tradisional di Cina. Di negeri tirai bambu ini, cacing tanah dikenal pula sebagai naga tanah. Bentuk kering dari cacing tanah di kalangan obat tradisional adalah Ti Lung Kam.

Di beberapa negara Asia dan Afrika, cacing tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga kering, lazim dijadikan makanan obat. Pengolahannya dengan disangrai atau digoreng kering, kemudian disantap sebagai keripik cacing. Diduga kebiasaan menyantap cacing ini membantu menekan angka kematian akibat diare di negara-negara miskin Asia-Afrika. Beberapa penelitian tmembuktikan adanya daya antibakteri dari protein hasil ekstrasi cacing tanah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif Escherichia coli, Shigella dysenterica, Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii.

Dalam dunia modern sekarang ini, senyawa aktif cacing tanah digunakan sebagai bahan obat. Bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan bahan aktif tersebut sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi. Sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif.

Do Tat Loi, MD, PhD, direktur Hanoi National Institute of Pharmaceutical di Vietnam, merupakan salah seorang penulis yang kerap menyebarluaskan khasiat cacing tanah. Ba Hoang, MD, PhD, juga di Vietnam, merupakan praktisi pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional China, dan telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, aterosklerosis, epilepsi, dan berbagai penyakit infeksi.

Faedah cacing tanah sebagai penghancur gumpalan darah (fibrimolysis) telah dilaporkan oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920-an. Sayangnya, laporan tersebut tidak mendapat tanggapan memadai dari para ahli saat itu. Jauh hari kemudian, Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing tanah), maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase.

Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat untuk stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang ”Boluoke”. Obat ini lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung (ischemic) yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Selama ini obat penghancur gumpalan darah yang banyak digunakan adalah aktivator jaringan plasminogen (tissue-plasminogen activator, tPA) dan stretokinase. Kedua jenis obat tersebut daya kerjanya lambat. Malahan, aspirin-pun sering digunakan untuk mencegah penggumpalan darah, padahal reaksinya terlalu asam bagi tubuh, sehingga banyak pengguna tidak tahan dan beresiko mengakibatkan tukak lambung.

Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar. Yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provicial People’s Hospital, dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dikalukan terhadap 453 pasien pengderita gangguan pembuluh darah dengan 73% kesembuhan total.

Jadi, cacing yang kecil pun bisa berguna besar. Hebat benar yang membuat alam ini. Luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun