Mohon tunggu...
Arie Riandry Ardiansyah
Arie Riandry Ardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Agama Agama

Suka menulis macem-macem

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Wisata Halal : Berkah Ekonomi atau Sekadar 'Halal-Halal?

1 Februari 2025   13:50 Diperbarui: 1 Februari 2025   13:50 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wisata Halal (Sumber : Muslim.okezone.com)

Industri pariwisata halal di Indonesia semakin menggeliat, didorong oleh potensi besar dari wisatawan Muslim domestik maupun mancanegara. Dengan label "halal," sektor ini menjanjikan pengalaman berwisata yang lebih nyaman bagi umat Islam, mulai dari hotel dengan sertifikasi halal, restoran tanpa alkohol dan babi, hingga destinasi wisata yang ramah bagi pelancong Muslim. Tapi, benarkah ini peluang ekonomi yang serius, atau hanya tren sesaat yang lebih banyak seremoni ketimbang substansi?

Peluang Ekonomi yang Menggiurkan

Indonesia memiliki keunggulan alami dalam sektor wisata halal. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ditambah dengan destinasi eksotis dari Sabang sampai Merauke, kita bisa menjadi kiblat wisata halal global. Pasar wisata halal juga tumbuh pesat. Menurut laporan Global Muslim Travel Index (GMTI), pengeluaran wisatawan Muslim secara global diperkirakan mencapai lebih dari $230 miliar pada tahun 2028.

Selain itu, beberapa daerah di Indonesia sudah mulai memanfaatkan tren ini. Lombok, misalnya, sukses menyandang predikat World's Best Halal Tourism Destination dan menarik banyak wisatawan Timur Tengah. Jika dikelola dengan baik, wisata halal bukan hanya soal "meng-Islam-kan" sektor pariwisata, tetapi juga meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.

Sekadar Label atau Inovasi Nyata?

Namun, ada masalah klasik yang selalu membayangi geliat tren ekonomi baru di Indonesia: banyak wacana, minim eksekusi. Alih-alih fokus membangun ekosistem wisata halal yang benar-benar berkualitas, yang sering terjadi justru sekadar rebranding. Hotel-hotel yang sebelumnya berkonsep syariah masih kesulitan mendapatkan sertifikasi halal, destinasi wisata yang disebut "ramah Muslim" kadang hanya berarti adanya musala kecil di sudut area parkir, sementara restoran "halal" sekadar memasang label tanpa ada audit ketat terhadap bahan makanan.

Lebih parah lagi, ada kesalahpahaman bahwa wisata halal hanya untuk Muslim, sehingga menimbulkan resistensi dari pelaku industri yang takut kehilangan wisatawan non-Muslim. Padahal, konsep wisata halal seharusnya inklusif dan tidak eksklusif, menekankan layanan yang ramah bagi Muslim tanpa menghalangi wisatawan lain untuk tetap menikmati destinasi yang sama.

Jangan Hanya 'Halal-Halal', Tapi Juga Berdaya Saing

Jika Indonesia ingin serius menjadikan wisata halal sebagai berkah ekonomi, kita butuh lebih dari sekadar seremoni atau gimmick label halal. Beberapa hal yang perlu dilakukan:

1. Standarisasi & Regulasi Ketat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun