Bibir itu, dulu, Â
adalah perahu yang membawaku melintasi badai. Â
Lembut seperti janji yang kau bisikkan di malam gerimis, Â
tajam seperti kata perpisahan yang kau lempar tanpa ampun. Â
Aku masih ingat, Â
gula yang larut dalam teh di sudut kafe, Â
di mana kau tersenyum dengan aroma kayu manis. Â
Aku pikir, cinta seharusnya bertahan lebih lama Â
dari sekadar sisa busa di bibir cangkir. Â
Tapi waktu tak pernah kompromi. Â
Bibir yang dulu menyebut namaku dengan nyaring, Â
kini sekadar bayangan dalam percakapan orang asing. Â
Mungkin kau telah lupa, Â
tapi aku masih mengingat segalanya---Â Â
rasa manis yang kini terasa getir di ujung lidah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI