Doa Ibu
Doa ibu selalu lirih,
seperti angin subuh yang merayap di sela jendela.
Aku jarang mendengarnya,
tapi aku tahu ia selalu ada,
melangit sebelum aku sempat bangun,
sebelum aku sempat berterima kasih.
Doa ibu tidak pernah minta dikembalikan
ia hanya meminta angin membawanya tinggi,
menyusuri celah waktu yang tidak pernah kita miliki bersama.
Doa itu menggulung semua harapan kecil,
tentang tanganku yang tak pernah cukup kuat
dan tanganku yang sering salah arah.
"Apa yang kau minta, Bu?"
Ibu hanya tersenyum kecil.
"Bukan untukku,"katanya.
"Aku sudah selesai meminta untuk diriku sendiri."
Dan aku tahu, doa ibu adalah dirinya yang terurai,
memberikan semua yang ia punya
untuk mengisi ruang kosong dalam hidupku.
Di setiap langkah yang kuambil,
ada jejak doa ibu yang tak pernah pudar.
Ketika aku jatuh,
aku tahu ada lantunan di kejauhan
yang selalu mendoakan agar aku bangkit,
meski tanpa suara,
meski tanpa ibu tahu di mana aku berada.
Doa ibu adalah rumah,
tempatku pulang tanpa mengetuk,
tempatku menangis tanpa harus malu.
Ia adalah sayap tak terlihat
yang menahan angin ketika aku hampir jatuh.
Dan meski suatu hari ibu tidak ada lagi di sini,
doanya tetap tinggal,
tertanam dalam setiap detak dadaku,
menjadi nyanyian kecil
yang akan kudengar di setiap sunyi.
(Bandung, 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI