Sampai saat ini menutup telinga sendiri ternyata, masih lebih sukar dari menampar suara-suara yang bergentayangan di alam bebas. Masih lebih muda mengepalkan tangan bagi seorang perempuan tua yang sekian tahun telah mengindap penyakit rematik. Segala penyakit hilang, obat-obatan tak lagi diperlukan selain mantra penenang jiwa. Obat yang tidak serta-merta di dapatkan dari semua penjual obat, dan daripada itu tidak semua pasien menyukai rasa hambar yang terus berulang-ulang ditelan. Hingga memasuki rongga dada, menyesaki qolbu.
Menjadi orang dengan tubuh menderita dipenuhi daki dari mata saudara sendiri, sesama muslim--sekelamin malam adalah matahari. Dibutuhkan penghidupan, berguna sepanjang siang, dan dilupakan tanpa salam oleh rembulan.
Menyakitkan saudariku, mengepalkan tangan--mengeretakkan geraham untuk menghalau setiap lolong serigala yang menguasai kepala acapkali membuat lubang di sana-sini. Ternyata tak sekali sembuh dengan satu tambalan sulam maaf.Â
"Datanglah...Â
Datanglah lagi, sekali lagi akan kudermakan satu tamparan penginggat, bahwasanya aku manusia biasa."