Mohon tunggu...
Arie Prasetio
Arie Prasetio Mohon Tunggu... Dosen - Pelajar

Warga Indonesia yang hobi belajar dan berharap bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi umat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Yang Membebaskan: Mengatasi Budaya Bisu Freire Ditengah Krisis Literasi Indonesia

17 Desember 2024   09:40 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:39 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam situasi krisis literasi yang dihadapi Indonesia, konsep “pedagogi yang membebaskan” dari Paulo Freire memiliki relevansi yang tak terbantahkan. Berdasarkan hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara dalam hal kemampuan membaca. Skor membaca Indonesia hanya mencapai 371 poin, jauh dibawah rata-rata global sebesar 487 poin. (OECD, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa di Indonesia kesulitan memahami teks yang kompleks, menarik kesimpulan dan menganalisis informasi. Disamping itu, angka ini mencerminkan betapa seriusnya krisis literasi yang berdampak pada kesadaran kritis dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan bangsa.

Lebih mencengangkan lagi, data dari UNESCO (2020) menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Ini berarti hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki ketertarikan membaca. Bukan hanya malas membaca, orang Indonesia juga kesulitan memahami dan menganalisis informasi. Ketika masyarakat tidak mampu menyaring dan mencerna informasi, maka pintu untuk manipulasi dan penyebaran hoaks pun terbuka lebar. Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2022 membuktikan bahwa 60% masyarakat Indonesia masih mudah terpengaruh oleh berita palsu. Era digital yang serba cepat justru semakin memperjelas rendahnya daya kritis orang Indonesia. Tanpa kemampuan berpikir analitis, maka hanya menjadi penonton pasif yang menelan informasi apa adanya.  Fenomena ini disebut Freire sebagai “budaya bisu”, yakni kondisi di mana masyarakat hanya menjadi penerima informasi tanpa kemampuan untuk mempertanyakan atau menganalisisnya secara mendalam.

Krisis Literasi dan Budaya Bisu

Budaya bisu merupakan hasil dari sistem pendidikan yang bersifat "banking education", dimana peserta didik hanya diisi dengan informasi tanpa diajak untuk berpikir kritis. Peserta didik atau siswa jarang diberi kesempatan untuk bertanya, berdiskusi, atau berpikir secara reflektif. Akibatnya, anak-anak Indonesia tumbuh tanpa kemampuan untuk menganalisis realitas atau mempertanyakan ketidakadilan di sekitarnya.

Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.” (Freire, P. Pedagogy of the Oppressed, 1970)

Dalam banyak ruang kelas di Indonesia, pembelajaran masih berpusat pada hafalan. Guru berbicara, siswa mendengarkan dan mencatat, lalu ujian mengukur seberapa banyak yang berhasil diingat. Dialog kritis antara guru dan murid hampir tidak pernah terjadi. Jika ini terus berlanjut, kita hanya melahirkan generasi yang sekadar patuh tanpa daya kritis, generasi yang tidak mampu berdiri tegak dalam menghadapi derasnya arus informasi.

Freire menyebut metode ini sebagai bentuk penindasan karena membelenggu kebebasan berpikir dan menumpulkan kreativitas siswa. Akibatnya, generasi muda cenderung apatis, kurang berani menyuarakan pendapat, dan sulit membedakan fakta dari manipulasi informasi. Dalam konteks Indonesia, budaya bisu ini terlihat jelas dari maraknya hoaks, rendahnya minat baca, dan lemahnya daya kritis masyarakat terhadap kebijakan publik.

Kesenjangan akses pendidikan juga turut memperburuk krisis ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, hanya 35% anak-anak di pedesaan yang memiliki akses ke perpustakaan atau bahan bacaan yang memadai. Sementara di perkotaan, angkanya mencapai 85%. Kesenjangan ini melahirkan ketimpangan literasi yang semakin menjauhkan kelompok marginal dari kesempatan untuk membebaskan diri melalui pendidikan.

Apa Dampaknya?

Jika budaya bisu ini terus dibiarkan, konsekuensinya akan merambat ke berbagai aspek kehidupan. Masyarakat yang rendah literasi dan berpikir kritis akan lebih mudah terjebak dalam narasi manipulatif. Mereka sulit membedakan antara fakta dan hoaks, antara opini dan kenyataan. Hal ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga memperlemah fondasi demokrasi dan kebangsaan kita.

Ketika masyarakat tidak mampu berpikir kritis, kebijakan publik yang merugikan bisa lolos tanpa perlawanan berarti. Korupsi merajalela, kebijakan pendidikan yang tidak relevan dibiarkan, dan suara-suara kelompok marginal terus dibungkam. Semua ini terjadi di tengah kebungkaman kolektif yang lahir dari budaya bisu.

Critical consciousness is brought about not through intellectual effort alone, but through praxis — through the authentic union of action and reflection.” (Freire, P. Education for Critical Consciousness, 1974)

Pendidikan Dialogis: Solusi Mengatasi Budaya Bisu

Freire menawarkan pendekatan pendidikan dialogis sebagai solusi untuk membebaskan masyarakat dari budaya bisu. Pendidikan dialogis menempatkan guru dan siswa dalam posisi yang setara, di mana keduanya sama-sama belajar, bertanya, dan berbagi pengalaman. Dengan dialog, siswa tidak hanya menerima pengetahuan tetapi juga diajak untuk menganalisis realitas kehidupan dan merumuskan solusi.

Dalam praktiknya, pendidikan dialogis di Indonesia dapat diwujudkan melalui:

  1. Metode Pembelajaran Berbasis Diskusi dan Refleksi
    Proses belajar harus mendorong siswa untuk bertanya, berdiskusi, dan mengkritisi materi pelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk menemukan pemahaman secara mandiri, bukan sebagai pemberi jawaban mutlak. “There is no such thing as teaching without research and research without teaching.” (Freire, P. Teachers as Cultural Workers: Letter to those Who Dare Teach, 1998)
  1. Mengintegrasikan Isu Sosial dalam Kurikulum
    Pelajaran sebaiknya dikaitkan dengan realitas sosial yang relevan dengan kehidupan siswa. Dengan demikian, mereka dapat memahami persoalan masyarakat dan berpikir kritis untuk mencari solusinya. Misalnya, diskusi tentang ketimpangan sosial, korupsi, atau isu lingkungan dapat menjadi bahan refleksi dalam proses belajar.
    Conscientization occurs when people become aware of the sociopolitical and economic contradictions in their lives and take action against the oppressive elements of their reality. The process of conscientization involves the development of a critical awareness of one’s social reality through reflection and action.” ( Resnick, R.P. Conscientization: an Indigenous Approach to International Social World, 1976)
  1. Mendorong Literasi Digital dan Informasi
    Pada era informasi, penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan memilah informasi yang valid dari yang menyesatkan. Pendidikan kritis harus mencakup literasi digital agar generasi muda tidak mudah terjebak hoaks dan propaganda.
    To speak a true word is to transform the world. Education either functions as an instrument which is used to facilitate the integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity, or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.” (Freire, P. The Politics of Education: Culture, Power, and Liberation, 1985)
  1. Pemberdayaan Komunitas Sekolah
    Sekolah perlu menjadi ruang yang demokratis, dimana siswa, guru, dan orang tua dapat terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini membantu membangun budaya dialog dan rasa tanggung jawab bersama.

Membangun Kesadaran Kritis untuk Masa Depan Bangsa

Kesadaran kritis yang dibangun melalui pendidikan dialogis bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan literasi, tetapi juga untuk membangun generasi yang reflektif, berani, dan peduli terhadap perubahan sosial. Dengan membebaskan diri dari budaya bisu, masyarakat Indonesia dapat menjadi lebih aktif dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan keadilan.

Paulo Freire mengajarkan bahwa pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari penindasan dan membuka ruang bagi pemikiran yang merdeka. Pendidikan harus menjadi ruang dialog, bukan monolog. Guru harus menjadi fasilitator yang membuka ruang bagi siswa untuk bertanya, berdiskusi, dan berpikir kritis. Materi pelajaran harus dikaitkan dengan realitas sosial sehingga siswa mampu memahami dunia dan berani melakukan perubahan.

Mari kita tinggalkan budaya bisu yang mengekang, dan mulai membangun pendidikan yang membebaskan pikiran, melawan ketidakadilan, dan mendorong perubahan. Krisis literasi bukan hanya persoalan kemampuan membaca, tetapi juga persoalan kesadaran dan keberanian untuk berpikir kritis. Pendidikan yang membebaskan adalah kunci untuk menjawab tantangan ini dan membangun masa depan Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan berdaya. (AAO)

Sumber Referensi

Buku

  1. Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed.

[ISBN 978-0-8264-1276-8]

  1. Freire, Paulo. (1974). Education for Critical Consciousness.

[ISBN 978-0-8264-1271-3]

  1. Freire, Paulo. (1998). Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who Dare Teach.

[ISBN 978-0-8133-9021-3]

  1. Freire, Paulo. (1985). The Politics of Education: Culture, Power, and Liberation.

[ISBN 978-0-89789-126-4]

  1. Freire, Paulo. (1970). Conscientization.

Dokumen

  1. OECD. (2019). PISA 2018 Results.
  2. UNESCO. (2020). World Literacy Statistics.
  3. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2022). Laporan Hoaks dan Literasi Digital di Indonesia.
  4. Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Statistik Pendidikan Indonesia.
  5. UNICEF Indonesia. (2021). Education and Learning Data.

Sumber Pendukung

  1. The World Bank. (2020). Indonesia’s Education Challenges.
  2. Jurnal Pendidikan Indonesia (JPI). (2020). Tantangan Literasi di Era Digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun