Silicon Valley Bank atau yang biasa disebut dengan SVB baru-baru ini mengalami kejatuhan yang menggemparkan dunia ekonomi. Pasalnya, kejatuhan SVB ini terjadi hanya dalam kurun waktu 48 jam. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi penarikan secara besar-besaran oleh para nasabahnya. Mengapa demikian? Berikut pembahasan lengkap mengenai alasan dibalik kejatuhan SVB.
Silicon Valley Bank (SVB) adalah sebuah bank komersial yang bermarkas besar di Santa Clara, California, yang didirikan pada tanggal 17 Oktober 1983. Bank ini memiliki fokus khusus dalam melayani kebutuhan sektor start up dan teknologi, dengan menyediakan pembiayaan, manajemen kas, dan layanan perbankan lainnya untuk perusahaan-perusahaan inovatif tersebut.
Selama bertahun-tahun, SVB telah membuktikan dirinya sebagai pemain utama dalam ekosistem teknologi, dengan membangun hubungan yang kuat dengan pengusaha, investor, dan pemangku kepentingan lainnya di industri tersebut. Bank ini terkenal karena keahliannya dalam melayani kebutuhan keuangan unik dari start up teknologi, yang sering kali memerlukan layanan khusus seperti utang ventura, pembiayaan ekuitas, dan perbankan internasional.
Sebagai hasil dari fokusnya pada sektor teknologi, SVB telah menjadi salah satu bank terbesar di Silicon Valley dan Amerika Serikat. Pada tahun 2021, bank ini menempati peringkat ke-16 di antara bank-bank terbesar di negara ini, dengan basis deposito terbesar dari bank manapun di wilayah tersebut.
Keberhasilan SVB merupakan bukti dari komitmennya dalam mendukung inovasi dan kewirausahaan, yang merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di industri teknologi. Melalui rangkaian layanan keuangan yang unik dan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan komunitas teknologi, SVB telah menjadi mitra yang dipercayai bagi start up dan perusahaan teknologi yang ingin memperbesar dan mengembangkan bisnis mereka.
Pada waktu terjadinya krisis keuangan tahun 2008, SVB adalah salah satu bank yang dapat bertahan dari serangan krisis tersebut. Kemudian setelahnya, Presiden Barrack Obama melakukan pengetatan dalam sistem perbankan untuk merespon krisis pada tahun 2008. Kemudian aturan tersebut dilonggarkan kembali pada masa jabatan Trump yang dikhususkan kepada bank dengan skala menengah dan kecil, termasuk SVB. SVB yang notabenenya bukanlah merupakan bank yang besar di US, namun SVB juga memiliki peranan yang penting dalam perekonomian US.
Ketika pandemi Covid-19 pecah diseluruh dunia, pemerintah US menerapkan kebijakan quantitative easing atau sederhananya adalah kebijakan untuk mendukung perekonomian negara yang tengah dilanda krisis melalui peningkatan jumlah uang yang beredar. Dalam hal ini, salah satu penerapan quantitative easing yang dilakukan oleh pemerintah US adalah dengan cara menurunkan suku bunga bank. Ketika suku bunga diturunkan, maka salah satu pihak yang diuntungkan adalah start up. Kenapa start up? Karena ketika suku bunga diturunkan, Venture Capital (VC) kemudian beralih untuk berinvestasi kepada start up dan tech company. Hal ini kemudian membuat banyak start up dan tech company kebanjiran uang. Ketika start up kebanjiran uang, maka uang tersebut akan mereka simpan di SVB karena bank tersebut memiliki concern utama pada nasabah start up dan tech company. Hal inilah yang kemudian menjadikan tahun 2020 hingga 2022 awal menjadi masa kejayaan bagi SVB.
Selanjutnya kita akan beralih untuk membahas kejatuhan dari SVB. Banyak pihak sepakat bahwa kejatuhan SVB tidak lain disebabkan oleh manajemen resiko yang buruk, serta model bisnis mereka juga tidak terdiferensiasi dengan baik. Mengapa demikian? Karena fokus utama SVB benar-benar terpusat kepada start up dan tech company. Yang mana hal tersebut membuat mereka sangat ketergantungan akan start up, karena merupakan penyumbang dana terbesar kepada SVB. Sedangkan uang yang didapat SVB dari start up dan tech company telah dialokasikan pada Bonds atau obligasi pemerintah jangka panjang. Disinilah letak masalahnya.
Setelah pemerintah pada masa pandemi memberlakukan kebijakan quantitative easing, maka terjadilah inflasi. Inflasi ini kemudian mendorong Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika memberlakukan yang dinamakan Tapering. Tapering  merupakan penghentian atau pengurangan quantitative easing yang dilakukan bank sentral untuk menaikkan suku bunga yang mana bertujuan untuk membatasi peredaran uang. Kebijakan ini kemudian berdampak pada obligasi pemerintah jangka panjang yang sebelumnya telah dibeli oleh SVB menjadi sangat murah. Di sisi lain, kebijakan tersebut juga kemudian membuat ruang gerak VC atau investor menjadi terbatas. Hal ini kemudian membuat banyak start up menjadi kekurangan suntikan dana. Kemudian hal tersebut mendorong start up untuk mengambil uang yang sebelumnya mereka simpan di SVB.
Dalam hal ini, kondisi SVB tentu saja dalam keadaan yang tidak diuntungkan. Di satu sisi banyak start up yang menarik uang secara bersamaan, di sisi lain SVB sudah terlanjur menggunakan uang tersebut untuk membeli obligasi pemerintah jangka panjang tersebut. Akhirnya SVB kemudian terpaksa menjual kembali obligasi pemerintah tersebut untuk mengembalikan uang start up. Ditambah lagi dengan penurunan nilai obligasi pemerintah tersebut membuat SVB mengalami kerugian yang sangat besar. Kerugian yang dialami oleh SVB telah mencapai angka senilai $1,8 Miliar.
Dari semua poin yang telah dijabarkan diatas, dapat kita simpulkan bahwa kehancuran SVB dapat terjadi karena adanya faktor manajemen resiko yang buruk, serta diversifikasi yang jelek dan tidak merata. Fokus utama SVB pada start-up dan perusahaan teknologi membuat mereka sangat bergantung pada pendanaan dari sektor tersebut. Uang yang didapat dari start-up dan perusahaan teknologi kemudian dialokasikan pada obligasi pemerintah jangka panjang. Saat pemerintah memberlakukan kebijakan quantitative easing selama pandemi, terjadi inflasi yang mendorong Federal Reserve untuk memberlakukan tapering. Hal ini membuat obligasi pemerintah jangka panjang yang dibeli oleh SVB menjadi sangat murah dan investor sulit untuk bergerak. Banyak start-up yang mengambil uang mereka yang disimpan di SVB, dan SVB terpaksa menjual kembali obligasi pemerintah tersebut untuk mengembalikan uang start-up. Karena penurunan nilai obligasi pemerintah, SVB mengalami kerugian senilai $1,8 miliar. Jadi begitulah kurang lebih mengenai proses kejatuhan salah satu bank yang dianggap paling menjanjikan pada tahun 2020 hingga 2022 yang lalu.
Sumber:Â Belajar Makro Ekonomi dari Kejatuhan SVB - Ferry Irwandi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H