Skema Rencana PPN Multitarif
Pemerintah mengubah single tarif menjadi multitarif. Single tarif menetapkan pajak sebesar 10% bagi seluruh barang atau jasa yang kena pajak. Sri Mulyani mengatakan bahwa skema rencana PPN Multitarif ini dibuat demi keadilan bagi masyarakat. Karena ada beberapa produk atau jasa yang seharusnya diberi pajak dan juga tidak seharusnya diberi pajak.
Pemerintah akan meningkatkan pajak bagi barang atau jasa yang mewah, dan menurunkan pajak bagi bagi barang atau jasa yang tidak dianggap mewah (konsumen menengah kebawah). Pemerintah juga akan menerapkan PPh Final atau goods dan service tax bagi barang dan jasa tertentu.Â
Pemerintah kedepannya juga akan menerapkan pajak PPN di sektor digital. Rencananya penerapan pajak bagi barang atau jasa yang mewah akan dikenakan sebesar 15%.
Risiko pada Perusahaan Besar
 Jika membaca dari skema di atas, mungkin tujuan dari perencanaan tersebut bisa dikatakan adil atau baik. Tetapi bagaimana dengan penerapan aslinya yang secara tidak langsung akan berisiko bagi perusahaan mewah.Â
Seperti pendapat dari Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan (Sumber : Dampak Buruk Kenaikan Pajak PPN, Penjualan Melemah hingga PHK Massal (yahoo.com) )
"Kalau PPN dinaikan akan mendongkrak harga jual sekaligus menurunkan volume penjualan, serta akan berimbas pada volume produksi menurun," kata Benny kepada Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (28/5/2021).
"Imbas pada volume produksi menurun atau utilisasi kapasitas terpasang turun, mengakibatkan pengurangan tenaga kerja," terang Benny.
"Secara waktu sangat tidak tepat dan potensinya jelas akan menurunkan penjualan," tegas Benny.Â
Apalagi sekarang ini kebanyakan ekonomi kelas menengah keatas melakukan savings karena pandemic ini. Mereka cenderung melindungi uangnya untuk kejadian yang tidak diinginkan. Mereka bukannya tidak memiliki daya beli tetapi lebih kearah pencegahan saat pandemic ini. Jika kenaikan pajak tidak diimbangi dengan banyaknya konsumen maka ujungnya adalah penurunan produksi dan perusahaan bisa bangkrut atau PHK.
Bagaimana Seharusnya Pemerintah Menanggapi hal iniÂ
Pemerintah dapat melakukan kajian lebih dalam lagi mengenai penerapan peningkatan pajak pada perusahaan-perusahaan mewah. Pemerintah juga turut memperhatikan data pembelian konsumen perusahaan mewah.Â
Tentu peningkatan pajak setiap perusahaan mewah tidak bisa dipukul sama rata. Pemerintah harus bisa memastikan perusahaan mewah mana yang wajib menerapkan kenaikan pajak dan mana perusahaan mewah yang masih survive dari kebangkrutan.
Jangan sampai kejadian departemen store mewah, Neiman Marcus Group, di Amerika Serikat terjadi di Indonesia. Departemen store ini mengalami kebangkrutan akibat pandemik ini.Â
Bahkan perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan hanya karena pandemik, tidak ada masalah lain yang menyebabkan kebangkrutan. Jangan sampai peningkatan pajak ini justru menambah permasalahan baru bagi perusahaan-perusahaan mewah.Â
Dampak dari kebangkrutan sebuah perusahaan justru akan menambahkan permasalahan baru bagi ekonomi Indonesia. Akan terjadi PHK besar-besaran sehingga banyak orang akan kehilangan daya beli. Ketika daya beli sedikit maka roda ekonomi akan sulit dijalankan. Selain daya beli masyarakat yang berkurang, pemerintah tentunya juga akan kehilangan sumber pemasukan dari pajak perusahaan mewah tersebut.
AET_12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H