Tara Basro baru saja mengunggah foto dirinya. Di foto tersebut, ia mengekspresikan dirinya dengan menggunakan pakaian dalam, memperlihatkan lipatan lemak di perutnya, dan juga stretchmark di kulitnya. Tara menceritakan kisah tentang penerimaan dirinya, yang mengalami pergolakan batin akan standar kecantikan di Indonesia.
Tara tidak bertujuan untuk mencari sensasi, dari unggahan caption Instagramnya, Tara menulis "Dari dulu yang selalu gue denger dari orang adalah hal jelek tentang tubuh mereka, akhirnya gue pun terbiasa ngelakuin hal yang sama.. mengkritik dan menjelek2an. Andaikan kita lebih terbiasa untuk melihat hal yang baik dan positif, bersyukur dengan apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki. Setelah perjalanan yang panjang gue bisa bilang kalau gue cinta sama tubuh gue dan gue bangga akan itu. Let yourself bloom."
Unggahan ini mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat. Kebanyakan mendukung dan memberikan reaksi positif atas unggahan Tara. Banyak perempuan yang merasa terwakili perasannnya setelah melihat Tara.Â
Tidak dapat kita pungkiri, standar kecantikan telah membunuh perasaan banyak perempuan di Indonesia. Jika seseorang tidak memenuhi standar tersebut, ia bisa saja dirundung oleh lingkungan sekitarnya.
Selama bertahun-tahun, masyarakat Indonesia disuguhi standar kecantikan yang kadang sangatlah tidak realistis. Beberapa standar kecantikan Indonesia adalah berkulit putih, tinggi semampai, perut langsing, hidung mancung, rambut lurus, dan masih banyak lagi. Padahal, orang asli Indonesia kebanyakan berkulit sawo matang, postur tubuhnya pendek, berhidung pesek, dan berambut keriting ataupun gelombang.
Apakah itu standar kecantikan? Standar kecantikan merupakan hal yang mendefinisikan kecantikan, berbeda di antara budaya lain, dan bersifat berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Siapakah yang mengatur standar kecantikan di Indonesia? Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Salah satunya adalah konstruksi media.
Media mempunyai pengaruh yang besar, sehingga dapat mengkonstruksikan standar kecantikan Indonesia. Alasan dibaliknya tentu sederhana, karena media hanya ingin menampilkan yang terbaik. Maka dari itu, media menggunakan kecantikan yang sempurna untuk ditampilkan ke khalayak umum.
Pada dekade 90-an, aktris berkebangsaan Polandia-Indonesia Tamara Bleszynski menjadi ikon kecantikan di saat itu. Ia membintangi berbagai macam sinetron dan menjadi bintang iklan popular. Otomatis wajahnya terpampang dimana-mana dan secara tidak sadar menjadi standar kecantikan di Indonesia.Â
Orang asli Indonesie tentu tidak dapat menyamai fitur tubuh yang dimiliki oleh Tamara, karena perbedaan ras. Tetapi banyak perempuan Indonesia yang menginginkan kulit putih seperti Tamara.Â
Bukan intensi saya untuk menyudutkan Tamara, tetapi media yang terlalu mengekspos Tamara memberikan kontribusi terhadap standar kecantikan yang berubah ini.
Setelah era Tamara, semakin marak aktris-aktris yang memiliki ras campuran masuk ke dalam indsutri hiburan Indonesia. Sebut saja Cinta Laura, Pevita Pearce, Caitlin Halderman, dan Natasha Ryder.Â