Beberapa capaian strategis dari program hilirisasi nikel Indonesia dalam lima tahun terakhir ternyata diiringi oleh beragam tantangan. Produksi bijih nikel yang melimpah di tahun 2024, dimana Indonesia memasok lebih dari 50% nikel global, menyebabkan pasokan nikel mengalami surplus di pasar dunia. Diperkirakan, surplus nikel global akan mencapai 150 ribu ton antara tahun 2024 hingga 2025 (mining.com, 2024). Jika permintaan nikel dunia tetap, namun pasokan terus meningkat, harga nikel dunia diperkirakan akan mengalami penurunan.
Pasokan nikel dunia tidak selalu bergantung pada bijih nikel yang ditambang dari bumi. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, telah mengolah nikel dari bahan dasar sisa nikel (nickel scrap). Sebagai informasi, nikel adalah logam yang kuat, tahan karat, dan dapat didaur ulang menjadi produk yang sama seperti semula. Berdasarkan data dari The United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), perdagangan nickel scrap mengalami peningkatan, terutama setelah Indonesia menghentikan ekspor nikel mentah. Banyaknya pasokan nickel scrap dan tingginya produksi bijih nikel di Indonesia kemungkinan besar berkontribusi pada penurunan harga nikel dunia.
Saat ini, harga nikel berada pada kisaran $15.000 USD per metrik ton, level terendah sejak awal 2020. Kondisi ini memaksa beberapa perusahaan tambang nikel di Australia, seperti BHP’s Nickel West, Panoramic Resources, dan Ravensthorpe, untuk menutup sementara operasional tambangnya (sumber: abc.net.au, afr.com). Meskipun Australia memiliki cadangan nikel terbesar kedua di dunia dengan total 24 juta ton, perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih menutup tambangnya karena harga nikel yang rendah tidak sebanding dengan biaya tenaga kerja dan ongkos operasional yang tinggi di negara tersebut.
Harga nikel yang rendah ternyata memengaruhi harga produk olahan nikel, seperti stainless steel. Berdasarkan data tahun 2023 dari UN Comtrade, nilai ekspor stainless steel Indonesia tercatat sebesar $1,9 USD per kg, sementara dari China mencapai $3,18 USD per kg. Data ini menunjukkan bahwa nilai tambah nikel dalam bentuk stainless steel dari Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dari China yang merupakan pemasok stainless steel terbesar dunia.
Selain itu, kabar baik datang dari penjualan kendaraan listrik. Penjualan EV di tingkat global mengalami kenaikan 20%, dari 13,9 juta unit pada 2023 menjadi 16,7 juta unit pada 2024 (sumber: thedriven.io, 2024). Ini merupakan kabar positif bagi industri baterai yang sedang berkembang di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik di dunia, produksi nikel Indonesia diperkirakan akan juga terserap lebih banyak dalam bentuk baterai.
Selain itu, dari banyaknya smelter yang telah dibangun, muncul tantangan lain yang perlu menjadi perhatian. Sebagian besar smelter masih fokus mengolah nikel menjadi bahan baku antara untuk pembuatan stainless steel dan paduan nikel (nickel alloys). Hal ini berpotensi meningkatkan risiko habisnya cadangan nikel Indonesia dalam waktu yang lebih cepat. Julian Ambassadur Shiddiq telah mengingatkan mengenai risiko ini sejak awal.
“Ke depan, Indonesia diperkirakan akan memiliki 190 smelter nikel. Jika seluruh smelter tersebut beroperasi, kebutuhan bijih nikel akan meningkat lima kali lipat, atau hampir mencapai 1 miliar ton per tahun. Sementara itu, cadangan bijih nikel Indonesia menurut data dari Badan Geologi Kementerian ESDM tercatat sebesar 5,03 miliar ton. Dengan kondisi ini, Indonesia diperkirakan akan kehabisan cadangan nikel dalam waktu empat hingga lima tahun" (sumber: indonesiabusinesspost.com).
Jika diamati lebih lanjut, sebagian besar ekspor produk hilirisasi nikel Indonesia, seperti stainless steel dan paduan nikel (nickel alloys), ditujukan ke China. Hal ini terkait dengan fakta bahwa lebih dari 50% penjualan kendaraan listrik (EV) global dikuasai oleh China. Perusahaan-perusahaan China yang beroperasi di Indonesia memainkan peran penting sebagai pembeli utama produk olahan nikel Indonesia. Namun demikian, terbatasnya jumlah pembeli ini menciptakan pasar yang terbatas pula, bahkan membentuk pasar oligopsoni untuk produk olahan nikel (Camba, 2021). Dominasi China dalam permintaan produk turunan nikel menunjukkan bahwa negara tersebut bisa meraih keuntungan besar dari harga nikel yang relatif murah. Sebagai investor utama dalam pembangunan smelter terbesar di Indonesia, kondisi ini dapat mendorong China untuk semakin giat mengeksploitasi nikel Indonesia, dengan harapan investasi yang mereka tanamkan dapat segera kembali modal.
Peluang di Masa Depan
Meskipun hingga saat ini investasi pengolahan produk nikel di Indonesia didominasi oleh China, Indonesia perlu menciptakan peluang investasi yang lebih besar dari dalam negeri. Seiring dengan itu, research and development (R&D) teknologi penyimpanan energi berbasis nikel perlu diperkuat dengan membangun sinergi antaruniversitas di Indonesia. Investasi dalam negeri dan kolaborasi antarsektor akademik, industri, dan pemerintah sangat penting untuk mempercepat inovasi teknologi, serta meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Dengan memperkuat ekosistem inovasi ini, Indonesia diharapkan dapat menciptakan nilai tambah yang lebih besar dari sumber daya nikel yang dimilikinya, serta mengurangi ketergantungan pada investasi asing.
Indonesia juga memiliki potensi besar untuk memproduksi baterai secara mandiri, baik untuk kendaraan listrik, panel surya, maupun pembangkit listrik tenaga angin. Untuk mendiversifikasi dan mengadopsi berbagai teknologi penyimpanan energi tersebut, Indonesia sebaiknya tidak bergantung sepenuhnya pada satu negara dalam mendukung program hilirisasi nikel. Kerja sama yang lebih intens dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat penting agar hasil pengolahan nikel yang telah diupayakan selama lima tahun terakhir dapat menembus pasar yang lebih luas dan menarik lebih banyak investasi.