Mohon tunggu...
Muhammad Ariefuddin
Muhammad Ariefuddin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menjadi pembelajar yang Kematian kan membuatnya kelar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Zero Waste

5 Desember 2018   13:05 Diperbarui: 5 Desember 2018   13:39 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Opini Kedaulatan Rakyat, tayang Senin 2 Desember 2018

Berita matinya seekor paus sperma di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara hari Senin (19/11/2018) cukup menggemparkan. Pasalnya, di dalam perut paus tersebut didapatkan sampah plastik seberat 5,9 kilogram. Sampah yang masuk kategori anorganik itu termakan paus dan tak bisa dicerna sehingga tertimbun di dalam perut paus. 

Fenomena tersebut mengundang pertanyaan, seberapa parahkah limbah palstik di perairan Indonesia itu ? Data KLHK menyebutkan, kurang lebih 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. 

Dari jumlah itu, hampir 95 persen menjadi sampah. Kondisi ini sangat berbahaya, karena sampah plastik butuh ratusan tahun untuk terurai ke lingkungan (voaindonesia.com). 

Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/ tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. 

Darurat sampah plastik sudah selayaknyalah digaungkan berbagai pihak untuk upaya mengurangi makin banyaknya sampah plastik yang akan merusak lingkungan. (kompas.com)

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi sampah plastik terutama yang bermuara di laut. Pemerintah juga terus menyosialisasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah, yang menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70% pada tahun 2025.

Terkait sampah plastik di laut, Presiden Joko Widodo pada G20 Summit tahun 2017 di Jerman telah menyampaikan komitmen bahwa Indonesia akan mengurangi limbah melalui reduce-reuse-recycle sebanyak 30% dan menargetkan pengurangan sampah plastik di laut sebanyak 70% pada 2025," tandasnya. (Tirto.id)

Sampah Adalah Persoalan Gaya Hidup

Diakui atau tidak, munculnya sampah itu adalah merupakan persoalan gaya hidup. Hampir setiap aktivitas kehidupan manusia akan berpotensi untuk menghasilkan sampah. Kegiatan konsumsi di skala rumah tangga dan publik. Aktivitas administrasi kerja di lembaga dan perusahaan. Bahkan proses alami lingkungan di sekitar kita juga tak luput dari memproduksi sampah. 

Semenjak Tahun 1907 era plastik modern dimulai dengan penemuan Bakelite oleh Leo Baekeland. Bakelite merupakan plastik sintetis pertama di dunia. Kehadiran plastik sebagai temuan cerdas sangat memudahkan kehidupan. Lambat laun baru diketahui ternyata limbah plastik sangat sulit diurai di alam.

Gerakan Sekolah Zerowaste

Bea Johnson dari www.zerowastehome.com mempopulerkan istilah 5R, yaitu : Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot. Cuma yang paling sering dikenal hanya 3R : Reduce, Reuse, Recycle saja. 

Padahal harusnya langkah pertama itu adalah Refuse, menolak hal-hal yang berpotensi menghasilkan sampah. Baru jika tidak mungkin ditolak selanjutnya masuk ke tahap R selanjutnya. Upaya menolak bahan-bahan yang berpotensi untuk menjadi sampah inilah yang sekarang populer dengan gerakan zerowaste. 

Zerowaste ini bukan sekedar wacana yang ditawarkan untuk menekan timbulnya sampah. Tapi benar-benar menjadi gerakan yang masif. Seperti yang dikutip dari zerowaste.id bahwa "Zero waste bukanlah tujuan, tapi proses. 

Dan mari kita bersama-sama menjalani proses ini. Pada akhirnya, gaya hidup sampah zero waste dimulai dengan keinginan untuk mengubah kebiasaan konsumsi dan berinvestasi di masyarakat demi masa bumi dan anak cucu kita."

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai banyak komponen untuk memasifkan gerakan zerowaste ini. Guru, siswa, orang tua dan masyarakat adalah stake holder yang berinteraksi langsung dengan sekolah. Karena berproses dalam gaya hidup, gerakan zerowaste hendaknya diformat yang jauh dari terkesan formalitas. Karena untuk menekan sampah dan mengganti bahan plastik itu butuh ketrampilan dan seni. 

Tips dan trik selalu hadir manakala setiap sisi kehidupan bersentuhan dengan aktivitas yang berpotensi membuat sampah. Termasuk lembaga dan unsur yang mengisi dan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. 

Era teknologi informasi ini menjadi peluang yang besar untuk lebih memasifkan gerakan zerowaste. Melalui media sosial yang lebih banyak melibatkan gambar dan video, lebih memungkinkan informasi tentang zerowaste itu mendapat energi persuasinya. 

Memulai dari yang kecil dan sederhana serta konsisten menjadi kunci awal gerakan zerowaste  ini. Guru mendesain pembelajaran yang menekan sampah dalam kelengkapan prosesnya. Proyek yang melibatkan keluarga dengan tantangan sehari, seminggu, bahkan sebulan mengurangi bahan yang akan menjadi sampah pasti akan membuat setiap keluarga tertarik. 

Setiap keluarga diminta melaporkan kegiatan melalui media sosial. Memperlihatkan berapa kilogram berat sampah yang dihasilkan setiap harinya. Begitu juga merembet untuk kegiatan lainnya. Study tour, berkemah, eksperimen, semua didesain untuk mengurangi sampah. Sebagai peneguhan, sekolah bisa menguatkan gerakan sosial ini diikat dalam tata tertib atau aturan yang mengikat.       

                                                                                    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun