Mohon tunggu...
Arief Tirtana
Arief Tirtana Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar Sepanjang Hayat. Belajar Sesuai Kodrat Alam dan Zaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Koneksi Antar Materi: Coaching untuk Supervisi Akademik

10 Oktober 2022   11:03 Diperbarui: 11 Oktober 2022   08:04 3442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang guru hendaknya mempunyai sikap reflektif. Dengan adanya sikap ini, guru akan mempunyai ruang berpikir untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan belum dilakukan, apa yang sudah berjalan baik dan mana yang belum berjalan baik. Dengan begitu dapat ditentukan perbaikan-perbaikan yang dapat mengembangkan dan menguatkan kompetensi guru. Sikap reflektif ini sebagai cerminan nilai reflektif yang harus ada dan dikembangkan oleh guru penggerak agar tindakan refleksi menjadi budaya yang positif terhadap dirinya.

Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan refleksi dan simpulan atas pengalaman belajar saya dalam pendidikan guru penggerak pada modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik dan membuat keterkaiitan hubungan dengan konsep pada modul-modul sebelumnya. Simpulan atas pengalaman pembelajaran yang saya peroleh dan keterkaitan hubungan antar konsep dapat saya uraikan sebagai berikut.

Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?

Dalam menjalankan peran sebagai seorang coach di sekolah saya harus dapat menggunakan paradigma berpikir coaching yang memberdayakan potensi agar pengembangan diri dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan baik itu dalam interaksi dan komunikasi saya dengan murid maupun dengan rekan sejawat yang menjadi coachee saya. Saya harus dapat memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, learning expereience, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee.

Saya harus dapat membangun komunikasi pembelajaran antara guru dan murid atau guru dengan rekan sejawat dengan menyediakan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.

Untuk menjalankan peran sebagai coach, saya dituntut untuk fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, mampu melihat peluang baru dan masa depan. Fokus pada coachee artinya memusatkan perhatian kita pada rekan yang kita kembangkan, bukan pada "situasi" yang dibawanya dalam percakapan. 

Bersikap terbuka dan ingin tahu artinya coach harus berpikiran terbuka terhadap pemikiran-pemikiran coachee dan mampu menerimanya dengan tenang dan tidak emosional serta tidak menghakiminya. Kesadaran diri yang kuat membantu kita untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat. Coach juga harus bisa mampu melihat peluang perkembangan yang ada dan juga bisa membawa rekan kita melihat masa depan.

Selain itu, saya juga harus memperhatikan prinsip-prinsip coaching dalam rangka memberdayakan orang yang sedang saya ajak berinteraksi. Prinsip coaching yang harus saya perhatikan adalah kemitraan, proses kreatif dan memaksimalkan potensi. Dalam coaching, posisi coach terhadap coachee-nya adalah mitra. Itu berarti setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. 

Coachee adalah sumber belajar bagi dirinya sendiri. Coach merupakan rekan berpikir bagi coachee-nya. Proses kreatif dalam coaching dilakukan melalui percakapan dua arah yang dapat memicu proses berpikir coachee dengan memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru. Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan coachee saya, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh coachee yang dikembangkan.

Sebagai seorang coach dalam melaksanakan coaching, saya juga perlu mempunyai kompetensi inti coaching yaitu, presence, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching. Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee. Badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching. Mendengarkan aktif adalah kemampuan untuk menyimak dengan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Mengajukan pertanyaan berbobot adalah kemampuan dalam menyampaikan pertanyaan yang dapat menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif, saya dapat menggunakan teknik RASA, yaitu Receive (terima), Apreciate (mengapresiasi), Summarize (Merangkum), dan Ask (Tanya).

Sementara itu, untuk membantu menjalankan peran saya sebagai coach dalam percakapan coaching agar lebih efektif dan bermakna, saya dapat menggunakan alur TIRTA (Tujuan Umum, Identifikasi, Rencana Aksi dan Tanggung Jawab). Tujuan Umum adalah tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Coach memantik coachee untuk menyampaikan apa yang diharapkan dari percakapan yang dilakukan. Identifikasi adalah tahap dimana coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi percakapan. Rencana Aksi yaitu tahap pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat. Tanggung jawab adalah tahap membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya.

Tidak mudah memang untuk memerankan diri sebagai coach yang baik di sekolah. Ada perasaan senang dalam diri saya ketika saya mendapatkan wawasan dan pemahaman baru bagaimana seharusnya bersikap ketika harus membantu murid atau rekan sejawat dalam mengatasi berbagai permasalahan. Dengan paradigma berpikir coaching yang saya terapkan, saya dapat memberdayakan kemampuan mereka sendiri. Perasaan lain juga muncul dalam diri saya, yaitu kekhawatiran saya tentang apakah pemahaman baru ini dapat segera saya kuasai, saya terapkan dan saya imbaskan. Namun dengan jeda mengambil nafas sejenak, saya dapat berpikir jernih untuk memperoleh keyakinan bahwa pemahaman ini dapat saya terapkan dan saya bagikan ke orang lain.

Hal-hal baik yang sudah saya lakukan dalam menjalankan paradigma berpikir coaching adalah saya sudah bisa memposisikan diri sebagai mitra yang hadir secara penuh, mendengarkan dengan baik apa yang coachee sampaikan kepada saya. Praktik coaching yang saya lakukan juga sudah runtut mengikuti alur TIRTA sehingga tujuan dari coaching dapat tercapai. Hal yang perlu saya perbaiki adalah bagaimana saya dapat mengajukan pertanyaan berbobot agar potensi dan kemampuan coachee dapat tergali dengan optimal. Ini menjadi tantangan bagi saya ke depan agar saya dapat mengembangkan dan menguatkan kompetensi ini dengan cara memaksimalkan penggunaan teknik RASA, yaitu Receive (terima), Apreciate (mengapresiasi), Summarize (Merangkum), dan Ask (Tanya) sehingga saya dapat mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif coachee saya.

Pemahaman dan praktik baik yang saya lakukan tentang paradigma berpikir coaching ini ternyata memliki keterkaitan dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional yang sudah saya dapatkan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi yang dipelajarai pada modul 2.1 sebelumnya, paradigma berpikir coaching ini membantu guru dalam mengeksplorasi kemampuan diri murid, mencari tahu kekuatan dan potensi yang dimiliki murid, sehingga dapat menentukan cara yang tepat dalam memfasilitasi kebutuhan belajar mereka yang beraneka ragam. Dengan memiliki ketrampilan yang baik dalam coaching, guru dapat menuntun dan mengarahkan murid menemukan jati diri dan dapat mendorong melejitnya potensi yang dimiliki. Melalui coaching,  guru juga dapat mengidentifikasi kebutuhan belajar murid sehingga guru dapat melakukan diferensiasi pembelajaran pada konten, proses dan produk berdasarkan kesiapan, minat dan profil belajar murid. Dengan demikian, guru telah menerapkan hasil pelaksanaan coaching terhadap muridnya.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran sosial emosional juga dapat dilihat pada saat kegiatan untuk melatih menghadirkan presence yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan kegiatan STOP dan Mindful Listening yang telah kita pelajari pada modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga mendorong coachee berpikir secara kritis dan mendalam yang bermuara pada coachee dapat menemukan kekuatan diri dan potensinya untuk terus dikembangkan secara berkesinambungan atau menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat. Hal ini menunjukkan bahwa proses percakapan coaching juga berkaitan dengan pembelajaran sosial emosional yaitu bagaimana coach coachee dapat sekaligus berlatih dan mengembangkan 5 KSE yang meliputi kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab. 

Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran?

Banyaknya manfaat-manfaat yang didapatkan dari praktik coaching menbawa saya pada suatu pemahaman bahwa paradigma berpikir coaching ini juga perlu diterapkan dalam kaitannya dengan supervisi akademik dan supervisi klinis. Selanjutnya muncul pertanyaan pada diri saya, bagaimana coaching ini dapat secara efektif dan bermakna diterapkan pada kegiatan supervisi akademik dan supervisi klinis. Saya menganggap bahwa keterampilan coaching ini berkiatan erat dengan pengembangan kompetensi guru sebagai pemimpin  pembelajaran. Kegiatan supervisi akademik harus berfokus pada pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dan optimalisasi potensi setiap guru sebagai pemimpin pembelajaran

Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada anak. Paradigma berpikir coaching dalam supervisi akademik akan mendorong warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki cara pandang bertumbuh, serta keberpihakan pada murid. Melalui penerapan coaching dalam supervisi akademik, akan terbangun komunikasi yang empatik dan memberdayakan sebagai pemimpin pembelajaran dan kepala sekolah dalam membuat perubahan strategis yang mampu menggerakan komunitas sekolah pada ekosistem belajar di sekolah.

Beberapa prinsip-prinsip supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi Kemitraan (proses kolaboratif antara supervisor dan guru), Konstruktif (mengembangkan kompetensi individu), Terencana, Reflektif, Objektif (data/informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati), Berkesinambungan, Komprehensif (mencakup tujuan dari proses supervisi akademik). Pelaksanaan supervisi akademik didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah dan dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan tindak lanjut.

Kegiatan supervisi klinis dapat disebut menggunakan paradigm berpikir coaching apabila bercirikan Interaksi yang bersifat kemitraan, sasaran supervisi berpusat pada strategi pembelajaran atau aspek pengajaran yang hendak dikembangkan oleh guru dan disepakati bersama antara guru dan supervisor, siklus supervisi klinis mencakup pra-observasi, observasi kelas, dan pasca-observasi, instrumen observasi disesuaikan dengan kebutuhan, objektivitas dalam data observasi, analisis dan umpan balik, analisis dan interpretasi data observasi dilakukan bersama-sama melalui percakapan guru dan supervisor, menghasilkan rencana perbaikan pengembangan diri dan merupakan kegiatan yang berkelanjutan.

Tentu ini menjadi sebuah tantangan bagi saya bagaimana saya dapat membawakan perubahan ini ke lingkungan saya. Saya harus dapat mengubah paradigma lama tentang supervisi akademik yang cenderung bersifat administratif dan satu arah menuju ke paradigma baru supervisi akademik yang berfokus pada peningkatan kompetensi pendidik dalam mendesain pembelajaran yang berpihak pada murid dengan menerapkan paradigm berpikir coaching. Langkah yang akan saya ambil ke depannya sebagai alternatif solusi adalah dengan konsisten menerapkan paradigma berpikir coaching di setiap kesempatan. Wawasam dan pemahaman saya tentang coaching yang saya dapatkan melalui belajar mandiri dari LMS, diskusi bersama fasilitator, pengajar praktik dan rekan CGP lain serta dari instruktur akan saya bagikan kepada rekan-rekan di sekolah. Selanjutnya saya akan berbagi pemahaman dan praktik baik ini melalui komunitas praktisi di sekolah agar perubahan paradigma dalam supervisi akademik ini dapat diikuti oleh rekan-rekan yang lain.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali bahwa paradigma berpikir coaching akan membantu guru dalam mewujudkan perannya sebagai seorang pemimpin pembelajaran dan kepala sekolah yang berkualitas dan mandiri. Pendekatan coaching ini berguna untuk pengembangan diri, guru dan rekan sejawat sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun