Amerika Serikat mengenal pakem kepemimpinan berdasarkan identitas pribadi, yakni: white, protestan, dan anglo-saxon. Pakem tersebut senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pemilihan presiden. Meski demikian, hal tersebut bukanlah harga mati karena bukan atas dasar konstitusi, melainkan kultur politik belaka.
Presiden J.F. Kennedy bukanlah seorang Protestan, tapi penganut Katholik. Barrack Obama juga tak berkulit putih. Artinya, tradisi politik berdasarkan identitas sosial-kultural tersebut tak hilangkan hak warga negara untuk menjadi seorang pemimpin. Namun, butuh kerja keras dan perjuangan lebih untuk itu.
Pakem sosio-kultural dalam kepemimpinan negara memang ada dan nyata. Di Indonesia ada pakemnya juga, yakni: Jawa dan Islam. Meski demikian, hal tersebut bukanlah ketentuan hukum sehingga siapa saja yang berstatus WNI sejak kelahirannya bisa tetap dipilih sebagai pemimpin Indonesia. Apa pun identitasnya.
Sejarah Indonesia tak selamanya lurus sesuai pakem yang ada. Meski demikian, hampir tak ada pihak yang mempersoalkan identitas sosio-kultural pemimpin tersebut. Perdebatannya lebih pada kebijakan yang diambil serta langkah-langkah politiknya. Hal itu terjadi di awal-awal Indonesia merdeka.
Siapa tak kenal dengan Amir Syarifuddin Harahap. Beliau merupakan Perdana Menteri RI ke-2 yang menjabat pada 3 Juli 1947-29 Januari 1948 (Kabinet Amir Syarifuddin I dan II). Amir Syarifuddin merupakan seorang Kristen Protestan yang taat, juga seorang sosialis. Artinya, dua pakem kepemimpinan di Indonesia tak jadi rujukan. Seorang Batak-Protestan menjadi kepala pemerintahan.
Tak hanya Amir, ada juga Dr. J. Leimena. Tokoh dari Maluku beragama Kristen Protestan dari Partai Kristen Indonesia juga pernah menjabat posisi penting di republik ini. Pada 1956-1966, Leimena menjabat Wakil Perdana Menteri. Identitas sosio-kultural yang melekat pada dirinya tak menjadi persoalan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menjadi bahan serangan oleh lawan-lawan politiknya. Itu wajar dan memang harus begitu adanya.
Agresi militer Belanda II terjadi setelah para pemimpin republik yang masih bayi ini ditangkap di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Tujuannya agar di Indonesia terjadi vacuum of power sehingga menjadi legitimasi bagi Belanda untuk berkuasa kembali. Belanda salah berhitung. Meski para petinggi republik ditangkap, pemerintahan jalan terus dan Indonesia sebagai negara berdaulat tetap eksis.
Sebelum Soekarno dan Hatta ditangkap, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra. Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.
Sejarah selalu bicara fakta, bukan pengandaian. Namun, dalam hal ini saya mengajak untuk berandai-andai. Seandainya Mr. Syafruddin Prawiranegara gagal membentuk PDRI di Sumatera, A.A. Maramis secara otomatis mengambil alih seperti yang tertuang dalam kawat Presiden Sukarno. Artinya, Indonesia dalam Pemerintahan Darurat di Pengasingan dipimpin oleh A.A. Maramis, seorang penganut Kristen Protestan dari Sulawesi. Indonesia memiliki kepala pemerintahan secara de facto seorang protestan. Itu seandainya PDRI di Sumatera alami kegagalan.
Tiga tokoh di atas merupakan contoh bagaimana politik di Indonesia dibentuk atas dasar kebangsaan. Kesadaran sebagai satu nation, bukan atas dasar identitas tertentu. Semua berhak menjadi pemimpin di Indonesia, apa pun latar belakangnya sepanjang WNI sejak kelahirannya dan memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia, semua untuk semua.