"Hanya untuk kasus korupsi saja tak dihubung-hubungkan dengan kebangkitan PKI atau bahaya laten komunis."
Beberapa hari terakhir merebak isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Berbagai komentar pun keluar dari masyarakat terhadap isu ini. Rata-rata mengajak semua pihak untuk mewaspadai bahaya laten komunisme. Tak hanya itu saja, aparat keamanan dan pertahanan pun ikut turun gunung dengan otoritas yang mereka miliki.
Pemberitaan pun banyak mengabarkan tentang penangkapan terhadap orang yang memakai kaos bergambar palu-arit. Gambar yang diidentikan sebagai bendera PKI meski faktanya bukan. Mulai dari kaos merah bergambar palu-arit kuning hingga logo band luar negeri yang mengandung unsur “terkutuk” juga kena penertiban. Semua hal yang terkait palu-arit jadi sorotan.
Tak hanya lambang, penertiban juga terjadi pada kancah musik. Acara konser musik yang penyanyinya membawakan lagu Genjer-Genjerpun turut ditertibkan. Acara tersebut langsung dihentikan oleh aparat keamanan karena dinilai berbahaya. Berpotensi membangkitkan kembali hantu komunisme yang sudah lama terkubur di Indonesia.
Dari aksi-aksi tersebut, beberapa analisis bermunculan. Mayoritas menyatakan agar masyarakat waspada terhadap bahaya laten komunis. Masyarakat dihimbau untuk melaporkan segala sesuatu terkait gambar palu-arit dan apa pun yang bisa dihubung-hubungkan dengan kebangkitan PKI. Di sisi lain, ada juga analisis yang nyatakan, maraknya isu kebangkitan PKI ini tak bisa dilepaskan dengan kegiatan Simposiun 65awal April lalu. Upaya menggalang opini publik supaya negara tak meminta maaf atas kekerasan dan stigmatisasi dari dampak peristiwa G 30 S/1965.
Semuanya pun kembali dihubung-hubungkan dengan komunisme. Kerja sama dengan Tiongkok dan Rusia pun turut dikait-kaitkan dengan hal ini di berbagai media. Bahkan segala sesuatu yang mengarah pada aksi vandalisme diarahkan pada wajah orang-orang yang dituding sebagai (neo)komunis. Hanya untuk kasus korupsi saja tak dihubung-hubungkan dengan kebangkitan PKI atau bahaya laten komunis. Mungkin, dianggap fenomena “manusiawi”.
Usaha bersih-bersih terhadap bahaya laten komunis atau kebangkitan PKI ini tampak sangat aneh. Mengapa demikian? Coba kita tengok film “Gie” (2005) yang bercerita tentang kehidupan aktivis angkatan 1966, Soe Hok Gie. Pada film tersebut, bendera palu-arit tampil dengan terang-benderang. Bahkan, lagu Genjer-Genjeryang haram juga jadi salah satu soundtrack di film tersebut. Meski demikian, pelarangan tak terjadi pada film yang bercerita tentang aktivis mahasiswa tersebut.
Jika flash back saat rilis film “Gie”, kekhawatiran aparat keamanan dan pertahanan hampir nihil. Masyarakat pun tak berkomentar tentang kebangkitan PKI dan bahaya laten komunis meski bendera merah dengan gambar palu-arit jadi bagian dari film tersebut. Tak pula ada pembubaran pemutaran film tersebut di bioskop-bioskop karena jadikan lagu Genjer-Genjer jadi soundtrack-nya. Semuanya berjalan lempeng saja. Mungkin, semua mahfum jika itu bagian dari seni pertunjukan.
Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015) juga terang-terangan menampilkan lagu perjuangan kaum buruh-tani sedunia. Dalam salah satu scene-nya, lagu L’Internationale dikumandangkan dengan khidmat dan penuh semangat. Lagu tersebut merupakan hasil terjemahann dari Bahasa Belanda oleh Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Padahal, lagu tersebut menjadi “lagu kebangsaan” gerakan sosialis yang mana kelompok komunis juga menggunakannya.
Komentar dari masyarakat maupun aparat keamanan dan pertahanan negara hampir nihil adanya. Mereka biasa-biasa saja terhadap lagu L’Internationale meski Amir Syarifuddin, Suripno, dan lain-lain menyanyikan lagu ini dihadapan regu tembak pada 1949 sebelum timah panas membunuhnya. Bahkan, L’Internationalepernah menjadi lagu kebangsaan ketika awal berdirinya Uni Soviet.