Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kendi Solidaritas untuk Kehidupan

11 Mei 2011   14:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="http://hanikoen.multiply.com"][/caption]

Kendi bukanlah sekedar wadah air minum. Bukan pula sekedar hasil sentuhan dari sebongkah tanah liat yang kemudian berwujud kendi. Kendi dalam masyarakat Indonesia, khususnya jawa, juga berarti kehidupan karena jadi tempat penampung air untuk diminum. Air untuk hidup bagi semua orang dalam kehidupan yang singkat ini.

Urip kuwi mung nunut ngombe.” (hidup itu hanya menumpang untuk minum). Inilah falsafah yang senantiasa dipegang oleh orang jawa. Hidup itu singkat, tak perlu serakah, dan harus tolong-menolong antar sesama.

Falsafah kendi ini banyak dipraktekkan oleh masyarakat jawa sebelum era individualisme hinggap dalam masyarakat. Memasang kendi berisi air masak di depan rumah merupakan perwujudan falsafah kendi ini. sebagai wujud solidaritas terhadap sesama yang sedang membutuhkan, haus kala melakukan perjalanan.

Kendi kuwi dipasang nang ngarep omah ben sing mlaku ora ngelak, iso langsung ngombe” (kendi dipasang didepan rumah agar orang yang sedang melitas tidak kehausan, bisa langsung minum) jawab nenek ketika ku bertanya mengapa di depan sebuah rumah ada kendi.

Pertanyaan tersebut muncul ketika menemui pemandangan “aneh” di depan sebuah rumah dekat sekolah. Bagiku hal itu cukup aneh mengingat baru kali ini melihat ada kendi berisi air masak di depan rumah dekat sekolah. Untuk ukuran abad millenium, kendi di depan rumah sudah jadi barang langka. Namun, ketika moda transportasi masih terbatas dan masih banyak pejalan kaki, banyak rumah yang menyediakan air masak dalam kendi di depan rumah mereka.

Inilah wujud nyata solidaritas yang dulu tampak nyata dalam masyarakat. Sang pemilik rumah dengan penuh kerelaan terus merebus air dan mengisi kendi “sosial” ini ketika kosong. Tanpa pamrih terus menyediakan air masak bagi mereka yang kehausan ketika sedang melintas meski dalam ukuran sekarang bakal yang banyak meragukan kebersihannya. Sekedar mampir untuk melepas dahaga setelah menempuh perjalanan jauh. Hanya berbekal satu pengetahuan dasar, setiap mahkluk hidup butuh air.

Untuk bepergian, kala moda transportasi belum maju, jalan kaki jadi pilihan utama. Jarak bukan hambatan dan tak perlu takut kehausan karena banyak rumah yang menyediakan air minum dengan sukarela. Kilometer jarak yang ditempuh jadi hal biasa karena memang harus dilakukan, tak ada pilihan lain.

Ndhisik yen saka kecamatan nang omah kudu mlaku. Ndhisik pernah mlaku bengi-bengi amarga ga ono kendaraan maneh,” (dulu kalau dari kota kecamatan ke rumah harus jalan kaki. Dulu juga pernah jalan kaki larut malam karena sudah tak ada kendaraan lagi) cerita nenek kepada ku.

Cerita di atas hanyalah sebuah gambaran bagaiamana cara menaklukkan jarak meski harus menempuh berkilo-kilometer. Karena itu, keberadaan kendi “sosial” ini punya arti besar bagi para pelintas meski hanya membantu melepas dahaga. Dibalik itu semua, kendi “sosial” punya makna besar, berbagi dengan sesama.

Seiring berjalannya waktu, kendi-kendi tersebut banyak yang lenyap. Amat jarang sekali ada yang menyediakan kendi berisi air masak di depan rumah. Air minum kemasan jadi pengganti kendi-kendi tersebut, tapi keberadaannya tak bisa tergantikan oleh apa pun sebagai bentuk solidaritas. Apalagi moda transportasi semakin maju. Sepeda motor dan mobil banyak berkeliaran di jalanan dan mampu menyingkat perjalanan.

Meski kendi tak lagi banyak ditemui di depan rumah, falsafahnya tetap hidup. Kendi adalah kehidupan karena air didalamnya sangat dibutuhkan. Rohnya tetap melekat sebagai wujud solidaritas antar sesama. Indonesia saat ini butuh banyak “kendi” untuk membangun kembali solidaritas inklusif di tengah maraknya amarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun