[caption id="attachment_97543" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Apa yang kita lakukan di dunia maya ternyata dipantau Badan Intelejen Negara (BIN). Lembaga ini tak hanya memantau yang kasat mata, juga segala sesuatu tindakan kita, kelompok netizen. Alasannya, apalagi kalau bukan jejaring yang mengarah pada terorisme dan subversif. Inilah berita yang cukup mengejutkan di detik.com. kaget karena masih saja gunakan istilah subversif di dalamnya. Apa yang dipantau BIN di jejaring sosial ada yang ganjil, terutama soal subversif. Apa yang bisa masuk dalam kategori subversif? Apakah suatu gerakan sosial yang menginginkan keadilan masuk kategori subversif? Atau kritik dari para netizen juga termasuk di dalamnya? Sangat lentur sekali pengertian subversif tersebut karena perbedaannya cukup tipis, antara kepentingan penguasa atau negara. Berita tersebut mengingatkan kembali polemik yang beberapa waktu lalu muncul ke permukaan. Polemik yang muncul dari pernyataan Menhan waktu itu, twitter, facebook, dan jaringan sosial lainnya sebagai ancaman nir-militer terhadap negara. Namun, polemik tersebut sudah diluruskan. Hal itu berlaku bagi cyber crime yang berwujud pengungkapan rahasia negara, intelejen, atau data pribadi seseorang di jejaring sosial. BIN boleh saja memantau jejaring sosial kita dengan caram apa pun. Namun, definisi subversif harus jelas terlebih dulu. Apakah subversif itu terkait cyber crime atau gerakan sosial dengan mobilisasi massa juga masuk kategori tersebut? Inilah sesuatu yang harus terang dulu agar BIN tak membunuh demokrasi dengan embel-embel “subversif” terhadap mereka yang kritis terhadap penguasa. Memang, dalam melakukan kerjanya, BIN tak sendirian. Kemenkominfo jadi mitra mereka. Mereka akan berkoordinasi dengan Kemenkominfo bila ada sesautu yang dinilai membahayakan. Selain itu, akan memberikan peringatan dini kepada instansi terkait mengenai apa yang diduga membahayakan itu. Namun, itu semua masih lentur. Batasan membahayakan harus diperjelas. Bahaya bagi penguasa atau negara? Bagaimana batasan kategori berbahaya tersebut? Kata subversif memang punya sejarah kelam di tanah air. Subversif merupakan kata sakti yang bisa digunakan apa saja guna melumpuhkan siapa pun yang hendak melawan penguasa despotik rezim Suharto. Inilah sumber awal kegetiran mengapa subversif masih terus dimunculkan sebagai kosakata untuk mengawasi jejaring sosial di dunia maya. Mengapa tak gunakan indicator yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan untuk segala sesuatu yang dianggap berbahaya? Harus diakui, jejaring sosial saat ini punya peran besar dalam perubahan sosial. Kekuatan twitter, facebook, dan jejaring sosial lainnya sudah terbukti di Timur-Tengah. Jejaring sosial menghidupkan gerakan massa yang menuntut demokratisasi di berbagai negara, seperti: Mesir, Yaman, Bahrain, dan Tunisia. Mubarak dan Ben Ali harus turun tahta setelah puluhan tahun berkuasa dengan “bantuan” jejaring sosial. Apa yang sedang dilakukan BIN dengan memantau jejaring sosial mengingatkan kembali pada tesis Gramci tentang kekuasaan. Kekuasaan tak hanya ada di struktur, tersebar banyak di pinggiran. Kekuasaan tak hanya melingkupi sistem, juga merasuk pada ruang privat yang mengendalikan semua tindakan. Seperti yang dikatakan Foucoult, kekuasaan juga masuk dalam wilayah seksualitas. Fenomena ini mengingatkan kembali pada kenangan lama di kampus. “Tetap jadikan pikiran dan tindakanmu subversif”. Inilah kalimat yang senantiasa menyambut setipa mahasiswa yang hendak masuk kampus ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H