Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

dalam keheningan, Kita Bisa Mendengar dan didengar

3 Februari 2011   00:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mendengar. Tindakan ini sepertinya bukanlah sesuatu yang layak untuk dipelajari dengan seksama. Bisa dikatakan itu sebuah rutinitas yang akan senantiasa terjadi, tiap detik. Tiap hari kita pasti mendengarkan berbagai bunyi yang masuk ke telinga kita, dan tak bisa dilakukan oleh, maaf, penderita tuna rungu. Meski demikian, hati tentu saja bisa mendengar apa saja bagi mereka yang punya keterbatasan ini.

Mendengar bukanlah soal menangkap bunyi-bunyian belaka. Lebih dari itu, mendengar adalah sebuah proses untuk bisa memahami dan mengerti satu sama lain agar terjadi suatu harmoni. Sebuah proses panjang yang butuh peruntuhan ego secara simultan, bukan sekedar pergi meninggalkannya setelah semuanya usai.

Banyak bacaan yang mengungkapkan kedahsyatan mendengar ini. Begitu pula tips-tips agar bisa menjadi pendengar yang baik diantara ribuan curahan kata-kata dari mulut, juga banyak beredar. Karena itu, mendengar ternyata bukan persoalan sekedar menangkap bunyi. Tindakan itu merupakan bagian dari seni bagaimana melegakan setiap hati.

”Mari kita saling mendengar agar bisa saling mengerti.” Pernyataan dalam salah satu komunike gerakan Zapatista di Meksiko tersebut dapat menjadi gambaran pentingnya saling mendengar. Mendengar setiap keluh-kesah siapa pun agar tak ada dominasi antara satu sama lain. Tanpa mendengar, kita hanya berwujud ”patung manusia” yang beku dan tak memunyai rasa.

Sungguh indah bila satu sama lain bisa saling mendengar. Barangkali, apa yang dinamakan dengan penindasan itu tak bakal terjadi. Keserakahan akibat ketulian ini merupakan penyebab matinya rasa karena tak ada kemauan untuk mengerti dan memahami satu sama lain. Memahami bagaimana perasaan sebagai sesama yang sejatinya sederajat.

Mari belajar mendengar. Inilah pelajaran yang memang agak sulit untuk bisa diterapkan. Mendengar setiap keluh-kesah, curahan hati, atau bentuk lainnya. Penjarakan hanya bisa melahirkan ketimpangan. Belajar mendengar dalam kesetaraan adalah indah. Subcomandante Marcos dalam satu pernyataannya mengatakan, ”dalam keheningan, kita bisa mendengar dan didengar.”
Dimuat juga di blog pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun