Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung dua samodra Tiada takut menerjang ombak Menempuh badai sudah biasa Inilah lagu kanak-kanak yang dulu sering kita dengar dan nyanyikan bersama. Lagu tentang kebanggaan atas sejarah besar sebagai bangsa maritim. Bangsa yang gagah berani menaklukkan samudera luas hingga ujung dunia. Negara maritim. Ya, negara maritim. Itu dulu. Negara maritim ternyata hanya ada dalam lagu kanak-kanak tersebut. Tak ada implementasi nyata dari pembuat kebijakan soal pembangunan laut kita. Barangkali, ini lah awal dari sebuah “bencana identitas” dalam konteks kewilayahan. Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya “Arus Balik” menggambarkan dengan apik soal ini. Arus selatan menuju utara berganti sebaliknya di zaman Majapahit. Apa penyebabnya? Ternyata karena Majapahit lupa pada lautan. Mereka sibuk dengan perang saudara di daratan. Apa boleh buat, Majapahit nan luas itu akhirnya runtuh juga karena tak mampu menjaga lautnya. Kemudian pada zaman kolonial, “lupa lautan” berlanjut dan ditegaskan sebagai arus utama kebijakan kekuasaan. Indonesia bukan lagi negara maritim. Apa yang terjadi dahulu ternyata berulang kembali. Seolah-olah ingin menegaskan alur sejarah yang tak linear, tapi diskontinyu. Kebijakan 2011 ternyata tak berperspektif laut, tetap saja daratan. Proyek infrastruktur besar tak menjamah lautan, hanya bagaimana memperpanjang jalanan dan kuburan massal itu. Negara kepulauan dilupakan. Tak pernah kita coba mengingat, mengapa IPTN gagal. Angkasa ternyata bukan jiwa kita, tapi laut lah yang sesungguhnya jadi roh bangsa ini. Anehnya, tak satu pun pembangunan infrastruktur kelautan jadi andalan pada 2011. Sangat ironis keadaan seperti ini. Apa boleh buat, bila ada salah satu pulau kita dicaplok negara lain, tak salah bila itu terjadi. Laut bukan jadi perhatian kita, hanya emperan saja. Padahal, laut adalah jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sriwijaya, Singosari, dan Majapahit telah membuktikan kejayaan atas lautan nusantara. Mereka hancur karena lupa lautan, terpesona daratan. Sejarah nusantara atas kejayaan kerajaan masa lalu hendaknya tak terulang. Lautan harus tetap jadi jiwa kita. Bukan jalan tol, jembatan layang, atau bandara. Kalau tidak, lagu kanak-kanak di atas hanya jadi ucapan belaka dan kenangan masa kecil kita. Jalesveva Bhumyamca Jayamahe Dimuat juga di blog pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H