Ngobrolin kepenulisan ini kadang bikin sakit kepala, bahkan gusar ketika tidak bisa menyampaikan pesannya. Intisari yang didapat ketika kongkow bareng di Matraman, bahwa sebenarnya menulis itu hal reflektif karena gatel pengen ngeluarin sesuatu, entah gagasan, rerasan atau kejadian menggelitik.
Gagasan lahir dari keberhasilan menjawab penasaran atau ngebangun asumsi atas sesuatu yang ditemui. Rerasan bisa lahir dari dengerin curhatan doi atau sobat supernya, atau kejadian menggelitik yang menjadi tsunami di mata kita. Tapi, fenomena menulis yang menjadi gelombang besar kebanyakan muncul akibat respon kejadian di luar diri.
Padahal, kalo sedikit deeptalk atau ngoceh dewe bakda subuh atau Maghrib sambil ngopi bisa saja jadi ide. Kemudian, cerita orang bisa dipantulkan menjadi cerpen atau puisi, bahkan menjadi lagu. Semuanya bisa dilakukan dengan mencatat, tapi kadang jalannya yang jarang terbuka.
Membuka Asumsi Pertama: Menulis Itu Alamiah
"Nulis itu nulis aja, mau itu satu kalimat, mau itu satu kutipan atau quotes yang hits di indera milenial. Intinya, kalo punya minat nulis, pastikan purpose-nya produktif aja, kesananya bakalan otomatis dapet banyak." - Ricky Setiawan, penulis buku Showtime Book
Menangkap statement ini, terselip menulis itu berarti bisa disebut alamiah manusia karena dia baru dapat sesuatu dan perlu dicatat, atau dia punya kebiasaan menulis karena dia punya kepentingan untuk disampaikan, atau jangan-jangan menulis ini hanya respon bagi orang dengan gaya komunikasi tulisan.
Nah, dari sekian asumsi ini yang aku temukan jawabannya adalah manusia punya nilai diri yang perlu dibranding. Iki seko obrolan om Henry Manampiring, bahwa semua orang berhak memasarkan nilai diri, ya salah satunya dengan menyampaikannya dengan tulisan. Makanya, jawaban ini agak memecah asumsi cuman aku belum puas. Jadi, aku coba cari lagi lewat searching di buku-buku.
Temuan "manusia punya curiosity" dari Mas Sabrang, dan "manusia selalu mencari dan mengembangkan" ala Mas Gotama, coba aku rangkum dengan sisi menulis, tidak ada orang menulis dengan langsung bertindak, selalu ada dorongan dan apa yang dimiliki. Kenapa begitu? Karena ada dua kemungkinan: mempertahankan eksistensi atau memberikan eksistensi.
Mengubur Kegusaran Anggapan Literasi yang Miss
Agak gusar, tapi coba kita rangkai serapi mungkin. Wong kadung literasi dianggap objek luar, bukan dipahami lagi objek dalam diri dan sikapnya cukup arogan ketika diajak diskusi. Mereka memahami literasi sebagai baca tulis dan menerbitkan karya, padahal terus-terusan aku bicara soal literasi adalah cakap, ada kemampuan yang perlu dikembangkan, ada passion (rasa berjuang) yang perlu konsisten menjaganya.
Baca-tulis itu awal membuka pintu literasi, dan nantinya ada banyak sekali jenisnya bukan hanya kita bikin karya seperti ini. Kita paham, kita punya sisi lain tentang sesuatu, kita bisa mendayagunakan kecakapan untuk hal-hal beragam, apalagi jadi manfaat luar biasa. Ya, emang kudu banyak lagi obrolan literasi supaya nggak latah bahkan nggak peduli.
Baca-tulis adalah satu rangkaian, nggak bisa dipisah atau ditinggalkan salah satunya. Mereka punya inner power untuk mendorong manusia menyampaikan banyak hal yang ditemui, terutama pada pengembangan diri. Mereka juga punya misi yang sering diungkap lewat berbagai acara; menulis merupakan media komunikasi dan upaya memperlancar gagasan. Seko kene, masih perlukah belajar menulis atau mengembangkan menulis?
Konklusi Sambil Mijit Jari
Sejatinya, dalam pemahaman aku soal menulis dan literasi ini sering jadi topik dasar, tetapi sering dianggap kedhuwuren ngobrolin kedua topik itu. Belum banyak ruang apik dan perlu keluwesan menangkap hal tersebut. Agak njaluk kelihatannya, tapi semoga dimaklumi.
Bisa saja dengan menggeluti menulis sejak dasar, kita membuka banyak hal dan menambah rasa penasaran. Karena itu berangkatnya dari membaca, maka rangkaian keduanya otomatis melempar pertanyaan ke dalam diri; apakah, apakah, mengapa dan kenapa. Coba kita renungkan ada penasaran bertambah atau tidak ketika selesai nulis.
Nah, simpulan yang belum tentu simpulan, karena masih banyak jawaban yang perlu dikumpulkan, kepenulisan adalah modal dasar mengelola rasa ingin tahu, jalan menemukan pengetahuan untuk dikembangkan, dan disertai menjaga kecakapan diri yang bisa dimunculkan lewat tulisan. Asik ngunu, nda.
Menulis itu mudah, kita membutuhkan waktu sejenak untuk menangkap banyak objek dan memvisualisasikannya melalui teks. Menulis itu aplikatif, kita bebas menuliskan banyak hal, termasuk rerasan kesulitan menulis itu sendiri. Pada intinya, kita punya nilai menulisnya sendiri, apapun itu bentuknya. Maka, lanjutkan saja. Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H