Pergolakan politik di negara kita sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sungguhlah menarik. Â Setiap terjadi peralihan kekuasaan atau perebutan kursi kekuasaan selalu diwarnai dengan berbagai macam isu. Isu SARA selalu mengambil porsi terbesar dalam tiap peralihan dan perebutan kekuasaan. Â Karena mayoritas kita adalah muslim maka tak heran jika teks-teks keagamaan Islam digunakan untuk mendukung seorang calon pemimpin dan menentang calon lainnya.
Yang menarik adalah dua atau lebih kubu yang bertentangan itu menggunakan sumber yang sama yaitu Alqur'an dan juga hadits-hadits Nabi s.a.w. Sehingga masyarakat awam yang memiliki keterbatasan pengetahuan agama dibuat bingung dengan argumen kedua fihak. Kedua-duanya sama-sama perpegang kepada firman Allah dan sabda Nabi s.a.w. sebagai sandaran. Â Masyarakat yang memang sudah menjadi umat dari suatu kelompok organisasi muslim sudah tentu akan mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh tokoh kelompoknya sendiri. Â Sedang masyarakat awam yang kebingungan menggunakan rasio masing-masing untuk menentukan pilihan.
Politik itu kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Ia tidak memiliki agama, suku maupun bangsa. Â Politik berdiri bebas dan liberal. Agama memiliki tujuan mengenalkan dan mendekatkan manusia kepada penciptanya. Â Pertanyaannya bisakah politik itu diagamakan atau lebih spesifik diislamkan?
Ketika seseorang atau suatu kekuatan politik mendeklarasikan diri biasanya ia mengusung ideologi dan  azas tersendiri.  Tentu didasarkan pada pertimbangan yang panjang.  Sebagian menganut ideologi nasional, sebagian ideologi agama dan sebagian menganut ideologi liberal.  Ada kalanya ideologi itu dicampur seperti agama dan nasional.
Kelompok politik penganut ideologi agama menarik untuk dibicarakan. Â Kelompok ini biasanya berdiri diatas idealisme agama, keyakinan tertentu dan misi agama yang dianutnya. Â Di masa awal, tokoh-tokoh politiknya masih sangat-sangat idealis dan keras mempertahankan ideologinya. Â Tetapi seiring berjalannya waktu generasi berikutnya mulai meninggalkan idealisme dan mengikuti kemauan masyarakat banyak sehingga mulai bersikap pragmatis.
Kenapa itu terjadi? Tentu saja itu terjadi karena politik itu membutuhkan lobi yang luas. Â Karena untuk menduduki posisi politik yang tinggi diperlukan dukungan massa yang sangat banyak. Â Suara mayoritas adalah kekuatan utama politik.
Misal suatu kelompok mendirikan partai agama dan bertujuan dakwah, lebih khusus lagi mereka ingin menjadikan negara ini berideologi agama mereka. Â Ketika partai itu berdiri tentu petinggi-petinggi partai diisi oleh tokoh-tokoh agama yang missi dakwahnya kuat. Â Partai harus besar dan memiliki massa besar. Â Langkah pertama, mereka akan merekrut orang-orang yang seideologi dan sepaham dengan mereka untuk menjaga idealisme. Â Tetapi tatkala orang-orang demikian telah habis dan mereka kehabisan sasaran sedang kebutuhan akan dukungan massa demikian besarnya mau tak mau mereka harus keluar mencari simpati di luar sasaran semula. Â Jika itu tak dilakukan maka massa mereka akan stagnan atau bahkan menyusut. Â Saat itu terjadi maka sikap pragmatis bisa saja dilakukan.
Idealisme para sesepuh dan pendiri partai agama akan mulai ditinggalkan. Â Idealisme itu tidak laku lagi ditengah ketatnya persaingan meraih massa untuk mencapai kekuasaan yang diinginkan. Â Partai yang tadinya didominasi oleh kelompok agama tertentu dan golongan tertentu harus memperbanyak tempat duduk bagi golongan lain yang dianggap mampu memberikan sumbangan suara yang diinginkan. Â Lobi politik terpaksa diluaskan. Â Hanya mengandalkan dakwah dengan mengajak satu dua orang tidak efektif apalagi dibatasi waktu untuk menghadapi pemilu yang sempit.
Diperjalanan partai agama juga memperlihatkan, ada kalanya mereka harus ikut mendukung partai mayoritas yang sebenarnya memiliki ideologi yang berbeda dengan mereka. Â Terpaksa berpijak di dua tempat, di ideologi agama yang dianut dan ideologi partai besar yang didukungnya. Â Kontradiktif sekali jadinya, apa mau dikata tuntutan politik menghendaki itu dilakukan. Â Di saat seperti itu masyarakat jadi makin terombang-ambing dengan isu yang tidak jelas. Â
Di negara kita itu sering terjadi. Â Seorang calon kepala pemerintahan yang diusung partai nasionalis dengan dukungan partai agama dibalut dengan dua isu yang berbeda. Â Saat calon itu berkampanye ia berorasi dengan seruan-seruan demokrasi dan nasionalisme. Â Tetapi di bawahnya para juru kampanye dari partai agama yang mendukungnya menyebarkan isu agama yang berseberangan dengan semangat demokrasi dan jiwa nasionalisme. Â Yang nampak adalah pemecahbelahan masyarakat dalam perbedaan sara. Masyarakat bingung, sebenarnya calon pemimpin itu seorang demokratis, nasionalis atau tokoh agama? Â
Di daerah yang mayoritas penduduknya seideologi dengan kelompoknya tentu itu hal menguntungkan. Â Di daerah di mana kelompoknya menjadi minoritas menjadi masalah besar. Â Kerap masalah itu diatasi dengan jalan pragmatis. Â Mereka mengusung calon pemimpin di luar agama dan ideologi partainya hanya demi kekuasaan. Â Partai islam mengusung calon nasrani di daerah mayoritas nasrani partai nasrani mengusung calon muslim di daerah mayoritas muslim. Tidak ada idealisme lagi.
Kembali lagi politik adalah kekuasaan dan materi. Agama membawa manusia dekat dengan Tuhan. Â Mungkinkah membawa manusia dekat dengan Tuhan sedang mereka diajak mengejar kekuasaan dan materi sebagai tujuan?
Â
Selamat pagi Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H