Setelah lama saya tunggu-tunggu akhirnya novel ini terbit juga. Agak kecewa sebenarnya, karena jarak dengan jilid I-nya hampir 1,5 tahun (lama amat ya?) Tapi oke-lah, barangkali pengarangnya butuh waktu buat bertapa supaya novelnya nggak disebut ecek-ecek. (Siapa yang tahu?)
Novel jilid 2, Trilogi Tan Malaka ini masih berkutat seputar Tan Malaka. Namun, ada perbedaan mendasar dengan jilid I-nya: Tan: Sebuah Novel. Ibaratnya, kalau jilid I, kita seperti makan mangga---dengan segala manis, kecut dan getirnya. Nah, kalau jilid II ini seperti makan rujak. Banyak amat tokohnya. Dan pergolakan hati setiap tokoh ini diceritakan secara proporsional.
Jadi di Tan: Gerilya Bawah Tanah, kita bukan cuma membaca sepak-terjang Tan Malaka, tetapi juga para tokoh pergerakan di era itu. Ada Subakat dan Djamaluddin Tamin, dua pentolan kaum merah, yang bersama-sama Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) untuk melanjutkan perjuangan sehubungan luluh-lantaknya gerakan di tanah air akibat Gubermen kesetanan mendigulkan para pejuang pasca kegagalan pemberotakan 1926-1927. (Apa dan bagaimana pemberontakan ini bisa dibaca di jilid I-nya).
Perjuangan PARI ini memang buat memerdekaan Indonesia, tapi sayangnya, mereka harus melakukanya dari luar negeri. Sebab, mereka adalah buronan Gubermen, dan akhirnya menjadi buronan polisi-polisi intelejen negeri-negeri koloni di Asia Tenggara dan daratan Tiongkok.
Bisa ditebak, kan? Setting novel ini jadi amat luas. Kalau dipetakan ke zaman sekarang, jejak perjuangan PARI ini membentang mulai dari Indonesia, Singapura, Malaysia,Thailand, Filipina, serta daratan Tiongkok: Xiamen, Shanghai, Kanton sampai Hongkong (luas banget ya?)
Sementara itu, di Indonesia Sukarno sedang merintis "karir" sebagai pemimpin rakyat. Dikisahkan bagaimana proses transformasi ini mulai sejak Sukarno jadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung, fresh graduate, romansa dengan Inggit Garnasih, hingga mendirikan PNI. Jangan lupakan pula Hatta dan Syahrir yang mendadak muncul untuk melanjutkan perjuangan pasca Sukarno diringkus Belanda.
Meskipun berpisah, siapa yang tahu ternyata PARI dan PNI ini memiliki hubungan batin. Para aktivis dua organisasi perjuangan ini terhubung lewat surat-menyurat dan bulletin Obor.
Yang paling memuakan di novel ini adalah Senna van Delli. Dia seorang pribumi yang bekerja sebagai agen intelejen Belanda. Dia seorang marchiavelian, yang bertuhankan kekuasaan semata, sehingga menjadi sosok keji dibalik pemberangusan para pemimpin rakyat.
Membaca Senna, selintas saya teringat Pangemanann-nya Pramudya Ananta Toer pada novel Rumah Kaca. Kurang ajarnya, waktu kesan ini muncul, eh, kedua tokoh ini malah berinteraksi macam guru dan murid. (bisa begitu ya?)
Overall, saya suka novel ini. Membaca novel ini seperti membaca Rumah Kaca dan jilid II Pacar Merah Indonesianya Matu Mona. Cuma sebagai representasi generasi zaman now, saya agak pusing baca risalah-risalah ideologinya, yang jauh lebih keras ketimbang Tan: Sebuah Novel. (Apa pengarangnya habis dibully gara-gara kaum Malakaisme menyebut novel pertamanya kelewat standar secara ideologi?)
Saya menunggu jilid pamungkas dari Trilogi ini. Cuma kalau harus menunggu sampai 1,5 tahun ke depan, kayaknya kelamaan deh. Ini bertentangan dengan ideology generasi zaman now.