[caption caption="http://historia.id/img/foto_berita/803150324_Tan-Malaka.jpg"][/caption]Tan Malaka adalah pejuang kemerdekaan yang pertama kali membangun pondasi Indonesia sebagai negara republik. Kendati diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Sukarno, semasa Orde Baru nama Tan Malaka menghilang dari buku-buku sejarah bangsa. Konon alasannya karena Tan Malaka adalah pejuang berorientasi kiri. Tan Malaka pernah menjabat sebagai Ketua Umum PKI, Wakil Komunis Internasional untuk kawasan Asia Timur dan Ketua Partai Murba.
Ironisnya, Tan Malaka ditembak mati oleh bangsanya sendiri. Kejadian ini berlangsung pada 21 Februari 1949 di desa Selo Panggung. Menurut Harry A.Poeze, sejarahwan Belanda yang gandrung meneliti Tan Malaka, pelakunya adalah seorang letnan dua dari Tentara Republik Indonesia bernama Sukotjo. Ia kemudian menjadi walikota Surabaya. Itu adalah aksi pribadi dari Sukotjo. Tidak ada perintah tembak mati dari atasan Sukotjo atau pimpinan tentara Indonesia. Karena itu, bulan Februari dikenal pula sebagai bulan hilangnya Tan Malaka. Tentu saja banyak yang bisa kita teladani dari Tan Malaka, tetapi untuk tahap awal, menurut saya ini 5 alasan terbaiknya.
1. Demi berjuang, jadi jomblo sepanjang hayat
Kendati punya otak encer dan nyali besar, nyatanya Tan Malaka (1897-1949) itu jomblo seumur hidupnya. Jadi jangan heran kalau Tan Malaka dikenal sebagai “Pejuang Revolusioner Yang Kesepian” Tapi jomblonya Tan ini bukan berarti dia tak laku ya. Dalam banyak catatan, Tan sebenarnya dikelilingi oleh para perempuan yang terkagum-kagum oleh geliat revolusioner Bapak Republik Indonesia.
Sebut saja Fenny Struyuenberg, seorang mahasiswa kedokteran, teman Tan semasa kuliah di Haalem Belanda. Dalam satu surat kabar lama di Rusia juga pernah disebutkan Tan punya kekasih gadis Rusia, tetapi tidak disebutkan namanya, apalagi fotonya. Ada pula Nona Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan rektor Universitas Manila. Kemudian Paramita Abdul Rahman.
keponakan Subarjo Djoyohadisuryo, mantan Menteri Luar Negeri, dan Syarifah Nawawi, teman sekolahnya di Kweekschool Bukittinggi. Ketika ditanya Adam Malik, Tan Malaka hanya menjawab, “Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta yang tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan Indonesia.” Jomblo karena bela negara, kira-kira sekarang tipe kagak gini masih ada gak ya?
2. Hidup Miskin semasa Kuliah di Belanda
Uang bulanan Tan itu sangat sedikit, jadi ia terpaksa hidup miskin ketika berkuliah di Sekolah Tinggi Keguruan di Haarlem Belanda. Kamar kostnya di loteng yang sempit dan gelap, menu makannya ala kadarnya, dan tidak pernah mengenakan jaket tebal di musim dingin, karena tidak punya uang. Semua ini membuat Tan kemudian terserang radang paru-paru. Tetapi semangat belajar dan menulisnya tidak padam karena kemiskinan ini. Nah, coba bayangkan dengan kita-kita yang langsung nelpon orangtua waktu kiriman bulanan datang terlambat.
3. Meninggalkan pekerjaan demi buruh kontrak
Sepulang dari Belanda, Tan pernah bekerja sebagai guru pengawas di sekolah perkebunan Senembah Mij di Deli Sumatera Utara. Konon gajinya cukup lumayan. Tapi Tan mendadak minta berhenti karena tidak tega melihat penderitaan buruh kontrak di sana. Sementara usulan-usulan Tan untuk mensejahterakan keluarga buruh kontrak perkebunan tebu itu selalu ditolak para pengusaha. Tan minta berhenti lalu mendirikan sekolah rakyat SErikat Islam di Semarang.
4. Menentang Lenin, Presiden Partai Komunis Dunia